Berbagai perbedaan pendapat dan pergerakan dalam Islam adalah suatu kewajaran. Sebab, menurut Pimpinan Umum Hidayatullah Ustadz Abdurrahman Muhammad, perbedaan tersebut masih dalam satu manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah. Lain halnya dengan aliran Syiah.
“Saya tidak setuju kalau kita mengatakan ‘Laa Sunni Walaa Syiah’ (tidak ada Sunni dan tidak ada Syiah, Red). Sebab ini aqidah. Karena Syiah itu memang beda (dengan Sunni) secara aqidah,” ujar Abdurrahman saat menyampaikan tausiyah pada acara Rakornas Hidayatullah di Cilodong, Depok, Jawa Barat, Sabtu, 16 Rabiul Awal 1435 H (18/1/2014) pagi.
Selain Syiah, Abdurrahman juga menyebut Ahmadiyah dan aliran sesat sejenisnya berbeda dengan ahlussunnah waljamaah. Perbedaan utamanya dalam persoalan aqidah.
“Saya tidak setuju kalau kita mengatakan ‘Laa Sunni Walaa Syiah’ (tidak ada Sunni dan tidak ada Syiah, Red). Sebab ini aqidah. Karena Syiah itu memang beda (dengan Sunni) secara aqidah,” ujar Abdurrahman saat menyampaikan tausiyah pada acara Rakornas Hidayatullah di Cilodong, Depok, Jawa Barat, Sabtu, 16 Rabiul Awal 1435 H (18/1/2014) pagi.
Selain Syiah, Abdurrahman juga menyebut Ahmadiyah dan aliran sesat sejenisnya berbeda dengan ahlussunnah waljamaah. Perbedaan utamanya dalam persoalan aqidah.
Abdurrahman mengatakan, perbedaan dalam Islam sudah terjadi sejak zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam. Para Sahabat sendiri sering berbeda dengan Nabi, juga dengan sesama Sahabat.
Tradisi perbedaan di kalangan para Sahabat berlanjut pada masa berikutnya. Termasuk di zaman para ulama mujtahidin. Perbedaan tersebut masing-masing berdasarkan dalil.
Tradisi perbedaan di kalangan para Sahabat berlanjut pada masa berikutnya. Termasuk di zaman para ulama mujtahidin. Perbedaan tersebut masing-masing berdasarkan dalil.
Sehingga, Abdurrahman berpendapat, berbagai perbedaan di kalangan Sunni tidak perlu dipermasalahkan.
“Apalagi kalau hanya seperti angkat tangan berdoa setelah shalat, atau baca basmalah kecil dan keras, atau ketika sujud itu didahulukan tangan atau didahulukan lutut, atau kalau berwudhu sebahagian atau semua,” ujarnya mencontohkan.
“Yang penting (pendapatnya) ada dalil, dan tahu dalil, tidak taqlid,” imbuhnya.
Dia meyakini, untuk menyerap berbagai perbedaan dalam dunia fikih, diperlukan tauhid yang lurus kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Seperti tercermin dalam ayat pertama surat al-’Alaq, “Iqro’ bismirobbikalladzi kholaq….” (Bacalah, dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan!).*
“Apalagi kalau hanya seperti angkat tangan berdoa setelah shalat, atau baca basmalah kecil dan keras, atau ketika sujud itu didahulukan tangan atau didahulukan lutut, atau kalau berwudhu sebahagian atau semua,” ujarnya mencontohkan.
“Yang penting (pendapatnya) ada dalil, dan tahu dalil, tidak taqlid,” imbuhnya.
Dia meyakini, untuk menyerap berbagai perbedaan dalam dunia fikih, diperlukan tauhid yang lurus kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Seperti tercermin dalam ayat pertama surat al-’Alaq, “Iqro’ bismirobbikalladzi kholaq….” (Bacalah, dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan!).*
Rep: Muh. Abdus Syakur
Editor: Cholis Akbar
Sumber:
http://www.hidayatullah.com