Inilah kesempurnaan ajaran agama Islam, jauh sebelum kedokteran modern merumuskan tentang malpraktek dan ketentuannya, Agama Islam telah meletakkan dasar mengenai hal ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَطَبَّبَ وَلَمْ يُعْلَمْ مِنْهُ طِبٌّ قَبْلَ ذَلِكَ فَهُوَ ضَامِنٌ
“Barang siapa yang melakukan pengobatan dan dia tidak mengetahui ilmunya sebelum itu maka dia yang bertanggung jawab.” [HR. An-Nasa’i, Abu Daud, Ibnu Majah dan yang lain, hadits hasan no. 54 kitab Bahjah Qulub Al-Abrar]
مَنْ تَطَبَّبَ وَلَمْ يُعْلَمْ مِنْهُ طِبٌّ قَبْلَ ذَلِكَ فَهُوَ ضَامِنٌ
“Barang siapa yang melakukan pengobatan dan dia tidak mengetahui ilmunya sebelum itu maka dia yang bertanggung jawab.” [HR. An-Nasa’i, Abu Daud, Ibnu Majah dan yang lain, hadits hasan no. 54 kitab Bahjah Qulub Al-Abrar]
Menurut pengertian kedokteran modern, malpraktek adalah praktek kedokteran yang salah atau tidak sesuai dengan standar profesi atau standar prosedur operasional. Dalam kamus kedokteran Dorland dijelaskan,
“Malpraktek adalah praktek yang tidak benar atau mencelakakan; tindakan kedokteran yang tidak terampil atau keliru [Dorland hal. 1282, edisi 29]
Jika melakukan malpkraktek harus bertanggungjawab
Ulama sekaligus dokter terkenal di zamannya, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullahu berkata,
فإيجابُ الضمان على الطبيب الجاهل،
فإذا تعاطى عِلمَ الطِّب وعمله، ولم يتقدم له به معرفة
“Maka wajib mengganti rugi [bertanggung jawab] bagi dokter yang bodoh jika melakukan praktek kedokteran dan tidak mengetahui/mempelajari ilmu kedokteran sebelumnya” [Thibbun Nabawi hal. 88, Al-Maktab Ats-Tsaqafi, Koiro]
فإيجابُ الضمان على الطبيب الجاهل،
فإذا تعاطى عِلمَ الطِّب وعمله، ولم يتقدم له به معرفة
“Maka wajib mengganti rugi [bertanggung jawab] bagi dokter yang bodoh jika melakukan praktek kedokteran dan tidak mengetahui/mempelajari ilmu kedokteran sebelumnya” [Thibbun Nabawi hal. 88, Al-Maktab Ats-Tsaqafi, Koiro]
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu berkata,
أنه لا يحل لأحد أن يتعاطى صناعة من الصناعات
وهو لا يحسنها ، سواء كان طبا أو غيره ،
وأن من تجرأ على ذلك ، فهو آثم . وما ترتب على عمله
من تلف نفس أو عضو أو نحوهما ، فهو ضامن له
“Tidak boleh bagi seseorang melakukan suatu praktek pekerjaan dimana ia tidak mumpuni dalam hal tersebut. Demikian juga dengan praktek kedokteran dan lainnya. Barangsiapa lancang melanggar maka ia berdosa. Dan apa yang ditimbulkan dari perbuatannya berupa hilangnya nyawa dan kerusakan anggota tubuh atau sejenisnya, maka ia harus bertanggung jawab.” [Bahjah Qulubil Abrar hal. 155, Dar Kutub Al-‘Ilmiyah, Beirut, cet-ke-1, 1423 H]
أنه لا يحل لأحد أن يتعاطى صناعة من الصناعات
وهو لا يحسنها ، سواء كان طبا أو غيره ،
وأن من تجرأ على ذلك ، فهو آثم . وما ترتب على عمله
من تلف نفس أو عضو أو نحوهما ، فهو ضامن له
“Tidak boleh bagi seseorang melakukan suatu praktek pekerjaan dimana ia tidak mumpuni dalam hal tersebut. Demikian juga dengan praktek kedokteran dan lainnya. Barangsiapa lancang melanggar maka ia berdosa. Dan apa yang ditimbulkan dari perbuatannya berupa hilangnya nyawa dan kerusakan anggota tubuh atau sejenisnya, maka ia harus bertanggung jawab.” [Bahjah Qulubil Abrar hal. 155, Dar Kutub Al-‘Ilmiyah, Beirut, cet-ke-1, 1423 H]
Al-khathabi rahimahullahu berkata
لا أعلم خلافاً فى أن المعالِج إذا تعدَّى، فتَلِفَ المريضُ
كان ضامناً، والمتعاطى علماً أو عملاً لا يعرفه متعد،
فإذا تولَّد من فعله التلف ضمن الدية، وسقط عنه القَودُ،
لأنه لا يستبِدُّ بذلك بدون إذن المريض وجنايةُ المُتطبب
فى قول عامة الفقهاء على عاقِلَتِه
“Saya tidak mengetahui adanya perselisihan dalam pengobatan apabila seseorang melakukan kesalahan, sehingga menimbulkan mudharat pada pasien, maka ia harus menanggung ganti rugi. Orang yang melakukan praktek [kedokteran] yang tidak mengetahui ilmu dan terapannya, maka ia adalah orang yang melampui batas. Apabila terjadi kerusakan akibat perbuatannya, maka ia harus bertanggung jawab dengan mennganti diyat.” [” [Thibbun Nabawi hal. 88, Al-Maktab Ats-Tsaqafi, Koiro]
لا أعلم خلافاً فى أن المعالِج إذا تعدَّى، فتَلِفَ المريضُ
كان ضامناً، والمتعاطى علماً أو عملاً لا يعرفه متعد،
فإذا تولَّد من فعله التلف ضمن الدية، وسقط عنه القَودُ،
لأنه لا يستبِدُّ بذلك بدون إذن المريض وجنايةُ المُتطبب
فى قول عامة الفقهاء على عاقِلَتِه
“Saya tidak mengetahui adanya perselisihan dalam pengobatan apabila seseorang melakukan kesalahan, sehingga menimbulkan mudharat pada pasien, maka ia harus menanggung ganti rugi. Orang yang melakukan praktek [kedokteran] yang tidak mengetahui ilmu dan terapannya, maka ia adalah orang yang melampui batas. Apabila terjadi kerusakan akibat perbuatannya, maka ia harus bertanggung jawab dengan mennganti diyat.” [” [Thibbun Nabawi hal. 88, Al-Maktab Ats-Tsaqafi, Koiro]
Musibah tanpa malpraktek dan malpraktek tanpa musibah
Kedua istilah ini dikenal dalam kedokteran modern. Musibah tanpa malpraktek misalnya,
Pasien meninggal dalam suatu operasi, walaupun dokter sudah melakukan segala cara yang harus dilakukan sesuai dengan ilmu yang dipelajari dan pengalaman yang diperoleh [Terhindar dari Malpraktek hal. 2, dr. Bahar sp.B onk, Kawan Pustaka, 2005]
Maka hal ini juga sudah ditegaskan dalam Islam, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu berkata,
أن الطبيب الحاذق ونحوه إذا باشر ولم تجن يده ،
وترتب على ذلك تلف ، فليس بضامن ؛ لأنه مأذون فيه
من المكلف أو وليه . فكل ما ترتب على المأذون فيه ،
فهو غير مضمون
“Dokter yang mahir, jika melakukan [praktek kedokteran] dan tidak melakukan kesalahan, kemudian terjadi dalam prakteknya kerusakan/bahaya. Maka ia tidak harus mengganti rugi. Karena ia mendapat izin dari pasien atau wali pasien. Dan segala kerusakan yang timbul dalam perbuatan yang mendapat izin, maka tidak harus mengganti rugi.” [Bahjah Qulubil Abrar hal. 156, Dar Kutub Al-‘Ilmiyah, Beirut, cet-ke-1, 1423 H]
أن الطبيب الحاذق ونحوه إذا باشر ولم تجن يده ،
وترتب على ذلك تلف ، فليس بضامن ؛ لأنه مأذون فيه
من المكلف أو وليه . فكل ما ترتب على المأذون فيه ،
فهو غير مضمون
“Dokter yang mahir, jika melakukan [praktek kedokteran] dan tidak melakukan kesalahan, kemudian terjadi dalam prakteknya kerusakan/bahaya. Maka ia tidak harus mengganti rugi. Karena ia mendapat izin dari pasien atau wali pasien. Dan segala kerusakan yang timbul dalam perbuatan yang mendapat izin, maka tidak harus mengganti rugi.” [Bahjah Qulubil Abrar hal. 156, Dar Kutub Al-‘Ilmiyah, Beirut, cet-ke-1, 1423 H]
Maksud mendapat izin yaitu ada ridha dari pasien bahwa ia mau diobati oleh dokter, atau ia meminta dokter untuk melakukan pengobatan padanya. Hal ini diperkuat dengan kaidah fiqhiyah.
ما ترتب على المأذون فهو غير مضمون, و العكس بالعكس
“Apa-apa [kerusakan] yang timbul dari sesuatu yang mendapat izin, maka tidak harus mengganti rugi, dan kebalikannya” [Al-Qawaaidul Ushuul Jaami’ah hal. 21, Darul Wathan, Riyadh, cet. Ke-2, 1422 H]
ما ترتب على المأذون فهو غير مضمون, و العكس بالعكس
“Apa-apa [kerusakan] yang timbul dari sesuatu yang mendapat izin, maka tidak harus mengganti rugi, dan kebalikannya” [Al-Qawaaidul Ushuul Jaami’ah hal. 21, Darul Wathan, Riyadh, cet. Ke-2, 1422 H]
Malpraktek tanpa musibah misalnya, pasien diperiksa dengan berbagai alat canggih berbiaya mahal. Walaupun tidak diperlukan. Maka hal ini juga dilarang dalam Islam, karena sebaiknya kita memperlakukan seseorang sebagaimana kita ingin diperlakukan.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يُؤمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidaklah salah seorang di antara kalian beriman sehingga ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri.”[HR. Bukhari-Muslim]
لاَ يُؤمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidaklah salah seorang di antara kalian beriman sehingga ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri.”[HR. Bukhari-Muslim]
Rincian malpraktek
Bahkan kesalahan dan ganti rugi dengan rinci dijelaskan oleh ulama Islam. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullahu merincinya ada lima pembagian:
1. Dokter yang mahir, melakukan praktek sesuai standar dan tidak melakukan kecerobohan
Kemudian terjadi efek yang kurang baik bagi pasien, maka ia tidak harus bertanggung jawab dengan mengganti.
Kami [penulis] beri contoh kasus disaat ini, misalnya pasien mendapat obat dari dokter, kemudian dokter sudah bertanya apakah ia mempunyai alergi dengan obat tertentu, maka pasien menjawab tidak tahu, kemudia dokter menjelaskan bisa jadi terjadi alergi. Kemudian pasien memilih menggunakan obat tersebut. Kemudian terjadi alergi berupa gatal-gatal pada pasien tersebut. Maka dokter tidak wajib mengganti kerugian. Alasannya lainnya juga karena kita tidak tahu apakah ia alergi obat apa tidak, karena ketahuan hanya jika sudah dicoba mengkonsumsi.
2. Dokter yang bodoh dan melakukan praktek kedokteran
Kemudian terjadi bahaya bagi pasien, maka dokter wajib bertanggung jawab atau ganti rugi berupa diyat.
Kami [penulis] beri contoh kasus disaat ini, misalnya mahasiswa kedokteran yang masih belajar [co-aas] melakukan praktek kemudian terjadi kesalahan yang merugikan pasien maka ia wajib bertaggung jawab.
3. dokter yang mahir, mendapatkan izin, kemudian melakukan kecerobohan.
Maka ia wajib bertanggung jawab, akan tetapi ada perselisihan dalam penggantian diyat, bisa jadi dari harta dokter ataupun dari baitul mal [kas negara].
Kami [penulis] beri contoh kasus disaat ini, misalnya dokter bedah ketika membedah, pisau bedah tertinggal diperut pasien, kemudian perut pasien rusak, maka dokter bedah wajib bertanggung jawab.
4. dokter yang mahir, berijtihad memberikan suatu resep obat, kemudian ia salah dalam ijtihadnya
Maka ia wajib bertanggung jawab dan ada dua pendapat tentang harta pengganti, bisa dari baitul mal [kas negara] atau harta keluarganya.
5. dokter yang mahir, melakukan pengobatan kepada anak kecil atau orang gila tanpa izinya teta[i mendapat izin walinya
Kemudian terjadi kerusakan/bahaya bagi pasien maka ganti rugi dirinci, jika ia melakukan kecorobohan, maka ia wajib mengganti jika tidak maka tidak perlu mengganti.
[lihat Thibbun Nabawi hal. 88-90, Al-Maktab Ats-Tsaqafi, Koiro]
Ganti ruginya apa?
Ini juga sudah diatur dalam Islam, kita bisa membaca panjang lebar penjelasan ulama dalam pembahasan fiqh kitab Jinayaat yaitu tentang kejahatan dan ganti rugi.
Kita ambil contoh, misalnya dokter bedah ketika membedah, pisau bedah tertinggal diperut pasien, kemudian perut pasien meninggal. maka dokter bedah harus bertanggung jawab, tetapi ia tidak diqishas dengan dibunuh juga, tetapi harus bertanggung jawab membayar diyatnya baik dari hartanya atau kas negara.
Dalam penbahasan Jinayaat juga dirinci berapa diyat jika merusak wajah, hidung, mata, kaki dan lain-liannya dengan rinci. Silahkan merujuk pada kitab fiqh, maka kita akan mendapatkan penjelasan yang rinci. Karena ini menunjukkan kesempurnaan ajaran Islam.
Penutup
demikianlah, melalui tulisan ini kami ingin membuktikan bahwa agama Islam adalah agama sempurna yang sudah memberikan petunjuk segala macam sisi kehidupan manusia baik untuk kebaikan dunia maupun akhirat.
Begitu juga dengan ilmu kedokteran, para ulama juga menaruh perhatian besar terhadap ilmu kedokteran bahkan ada juga yang merangkan ulama sekaligus dokter. Akan tetapi kaum muslimin sekarang ini jauh dari ulama, sehingga tidak tahu bahwa apa yang mereka dapatkan dari orang-orang kafir ternyata ada dalam ajaran Islam.
Hal Ini mengingatkan kami dengan apa yang menjadi penyesalan Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu kepada kelalaian umat Islam terhadap Ilmu medis sehingga beliau berkata,
ضَيَّعُوا ثُلُثَ العِلْمِ وَوَكَلُوهُ إِلَى اليَهُوْدِ وَالنَّصَارَى.
“Umat Islam telah menyia-nyiakan sepertiga Ilmu dan meyerahkannya kepada umat Yahudi dan Nasrani.” [Siyar A’lam An-Nubala Adz-Dzahabi 8/258, Darul Hadits, Koiro, 1427 H, Asy-Syamilah]
ضَيَّعُوا ثُلُثَ العِلْمِ وَوَكَلُوهُ إِلَى اليَهُوْدِ وَالنَّصَارَى.
“Umat Islam telah menyia-nyiakan sepertiga Ilmu dan meyerahkannya kepada umat Yahudi dan Nasrani.” [Siyar A’lam An-Nubala Adz-Dzahabi 8/258, Darul Hadits, Koiro, 1427 H, Asy-Syamilah]
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Disempurnakan di Lombok, Pulau seribu Masjid
23 Shafar 1433 H bertepatan 17 Januari 2012
Penyusun: dr. Raehanul Bahraen
Artikel http://muslimafiyah.com/