Hukum Qurban |
Bulan Dzulhijjah selalu identik dengan Idul Adha, dan itu berarti ada sebuah ibadah yang Allah swt. perintahkan di dalamnya. Memotong hewan qurban, itulah salah satu bentuk ketaatan hamba kepada Rabb-Nya. Allah swt. berfirman:
“Maka dirikanlah sholat untuk Robbmu dan berqurbanlah (untuk Robbmu).” (QS. Al-Kautsar: 2).
Berqurban berasal dari bahasa arab yang berarti mendekatkan diri. Qurban sendiri berasal dari kata Qorroba-Yuqorribu-Qurbaanan. Tentu mendekatkan diri dimaksudkan untuk hamba kepada sang Khaliq, sebuah cara pendekatan diri, penghambaan, ketaatan dan kesyukuran.
Kemudian dalam Surat Al-An’am ayat 62 Allah berfirman:
“Katakanlah: Sesungguhnya sholatku, ibadah (qurban)ku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Robb semesta alam.”
Dan dalam hadits, Rasulullah saw. bersabda:
Dari Anas ra., “Nabi saw. pernah berqurban dengan dua ekor kambing berwarna belang dan bertanduk.” (HR. Muttafaq ‘alaih).
Pada dasarnya, jika dilihat dari penggunaan kata berqurbanlah yang termasuk dalam jenis kata perintah maka kedudukannya menjadi sebuah kewajiban seperti halnya shalat dan shaum di bulan Ramadhan. Namun sama halnya dengan ibadah haji, Allah Maha Mengetahui kadar kemampuan setiap hamba-Nya. Berqurbanlah jika mampu.
Lebih jelasnya mengenai hukum qurban ini ada dua pendapat, pendapat pertama mewajibkan, inilah pendapat yang dianut oleh Imam Hanafi. Pendapat yang kedua menyatakan bahwa hukum berqurban adalah sunnah muakkadah, dengan menggunakan dalil hadits Ummu Salamah dalam Shohih Muslim bahwa Nabi saw. berkata:
“Apabila telah masuk sepuluh hari (awal bulan Dzulhijjah) dan salah seorang dari kalian ingin berqurban, maka janganlah dia menyentuh (dengan menggunting atau mencabut) sesuatupun dari rambut dan kulitnya.”
Sisi pendalilannya adalah bahwa Rasulullah sAW. menyerahkan ibadah tersebut kepada orang yang berkeinginan untuk berqurban.
Juga ada atsar dari beberapa shahabat ra-, diantaranya Abu Bakar, Umar dan Abu Mas’ud, diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dan lainnya dengan sanad shahih, bahwa mereka pernah meninggalkan ibadah qurban sedangkan mereka dalam keadaan mampu untuk berqurban, dengan tujuan supaya orang-orang tidak meyakini wajibnya berqurban. (“Fathul ‘Allam:” 5/517)
Tapi inti dari kedua pendapat ini adalah bahwa berqurban disyariatkan kepada orang yang mampu, berdasarkan hadits Rasulullah saw. Dari Abi Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:
”Siapa yang memiliki kelapangan tapi tidak menyembelih qurban, janganlah mendekati tempat shalat kami”. (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Al-Hakim menshahihkannya).
Adapun yang tidak mampu tidak disyariatkan berqurban, bahkan merekalah yang berhak menerima daging qurban. Meskipun begitu, tidak ada larangan untuk orang yang tidak mampu menyembelih hewan qurban. Misalnya saja, seseorang yang tidak mampu itu berusaha dengan cara menabung, menyisihkan sedikit penghasilannya untuk berqurban maka ini lebih baik. Wallahu a’lam bish-showwaab.
Sumber: