Oleh: Ilham Kadir
Pengurus LPPI Makassar
Sejarah merupakan salah satu disiplin ilmu yang unik lagi menarik untuk terus digali, dipahami, dan disiarkan pada khalayak ramai. Tak terkecuali sejarah masuknya Islam di kepulauan Nusantara yang di dalamnya termasuk negara Indonesia. Oleh karena itulah para peneliti seakan berkompetisi untuk mengkaji sejarah islamisasi Nusantara dari masa ke masa yang tak jarang melahirkan polemik yang tidak berkesudahan disebabkan perbedaan pendapat mengenai siapa, kapan, bagaimana, serta apa saja faktor-faktor pendoronga terjadinya islamisasi secara massal. Dari perbedaan pendapat itulah melahirkan –dalam istilah Azyumardi Azra—sebagai ‘teori’.
Sejarah sebagai catatan, laporan, prasasti, berita, khabar atau hadits adalah medan tempur kepentingan-kepentingan, ideologi-ideologi, worldview-worldview, dan misi para penulisnya. Dan pastinya, tidak semua penulis sejarah itu jujur dan teguh berpegang pada kebenaran. Sebagian mungkin tidak mengerti atau tidak mau tahu dan sengaja mengabaikannya, sebagian lainnya bahkan ‘menggunting’ kebenaran tersebut dan menyulamnya dengan kebatilan sehingga kaburlah pandangan orang dan rancu serta kelirulah antara fakta dan fiksi, antara hakikat dan khayalan, antara sejarah dan mitos antara kenyataan dan ‘isapan jempol’ belaka. (Dr. Syamsuddin Arif, Jurnal Islamia, Volume. VII. No. 2, 2012). Yang jelas, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya. Hidup memang bergerak ke depan namun hanya bisa dipahami jika kita menoleh ke belakang.
Jalaluddin Rakhmat, intelektual Syiah Indonesia, penebar kesesatan dan penabur caci dan makian terhadap sahabat Nabi, dalam salah satu wawancara yang dilangsir oleh media online www.viva.co.id (02/09/2012), ia menuturkan dengan yakinnya bahwa sebenarnya Syiah telah masuk ke Indonesia sejak awal kedatangan Islam. Pendiri Ijabi yang mengaku-ngaku telah menyelesaikan program doktoralnya di Australian National University, Australia dan telah dikukuhkan sebagai guru besar di Universitas Padjadjaran, Bandung ini, (Rosyidi,Dakwah Sufistik Kang Jalal, 2004), memperkuat argumennya dengan menyebut salah satu contoh ritual tahunan Syiah, seperti ‘tabuk’ yang rutin dilakukan oleh masyarakat Sumatra. Tabuk adalah sejenis peti yang dibuat dari anyaman bambu atau burung-burungan burak yang terbuat dari kayu lalu dibawa berarak pada peringatan terbunuhnya Hasan-Husein setiap tanggal 10 Muharam, (Kamus Besar Basaha Indonesia, 2001). Perayaan tahunan ‘tabuk’ atau ‘tabuik’ mirip dengan ‘ta’ziyeh’ di Iran. Selain itu, Kang Jalal, sapaan akrabnya, secara jujur mengatakan bahwa para penganut Syiah yang telah lebih dulu masuk ke Indonesia ber-taqiyah, sehingga mereka tidak menampakkan ke-Syiah-annya. Secara sederhana taqiyah adalah kondisi luar yang berbeda dengan yang ada dalam hati atau yang sebenarnya alias mengatakan perkataan bukan sesungguhnya (idza hadatsa kazdaba).
Pendapat Jalaluddin Rakhmat di atas harus disanggah dengan hujah yang ilmiah, karena akan membawa dampak psikologis bagi penganut Ahlussunnah secara umum, dan pergolakan Sunni-Syiah secara khusus di Indonesia. Percaya apa yang diucapkan oleh Mahasiswa program doktoral by research UIN Alauddin itu, konsekwensinya, Ahlussunnah di Indonesia harus menerima keberadaan aliran dan ajaran sesat dan menyimpang (heretical and heterodox) Syiah dengan legowo. Alasannya sederhana saja, Syiah sudah lama bertapak di Indonesia.
Pengalaman pribadi penulis turut menjadi pendorong untuk melahirkan artikel ini. Beberapa waktu lalu, salah seorang rekan mengirim pesan singkat (SMS) yang isinya menekankan bahwa pada dasarnya Islam yang pertama kali ke Indonesia adalah Islam-Syiah minus imamah. Benarkah demikian?
Bagaimana Islamisasi bermula?
Adalah Christiaan Snouck Hurgronje (w.1936), orientalis kesohor sekaligus penasehat kolonial Belanda berpendapat bahwa Islam tiba di Nusantara pada abad ke-13 Masehi, yakni setelah runtuhnya Dinasti Abbasiyah akibat serbuan tentara Mongol secara sporadis dan biadab pada tahun 1258 M. Pendapat klasik dan jamak diamini oleh bangsa Indonesia ini didasarkan pada catatan yang terdapat pada batu nisan kubur Sultan Malik As-Shalih bertahun 696 H atau 1297 M, dalilnya ditambah dengan warta perjalanan Marco Polo yang sempat singgah di Sumatra pada tahun 1292 M dan mencatat ramainya rakyat kerajaan Perlak telah memeluk Islam, (Marco Polo, Chathay and the Way Thither, 1866). Logika yang dibangun Hurgronje sederhana saja: kalau Islam memang sudah bertapak sebelum abad ke-13 Masehi, kenapa tidak ada bukti tertulis kongkrit atau empiris? Ketiadaan bukti adalah bukti ketiadaan, menurut orientalis yang pernah nyantri di Masjidil-Haram Mekkah ini.
Namun tesis Hurgronje di atas telah terpatahakan karena belakangan dijumpai di daerah Leran, Gresik Jawa Timur sebuah batu nisan seorang yang bernama Fatimah binti Maimun bin Hibatillah dengan tulisan Kufi bertahun 495 H/1102 M, bacaan lain menyatakan 475 H/1082 M. Dengan sendirinya pendapat Hurgronje gugur, dan dapat dipastikan jika Islam masuk Indonesia sebelum tahun 1082 M. (S.M. Al-Attas, Historical Fact and Fiction, 2011).
Pendapat yang kini disepakati secara umum oleh para sejarawan mutakhir, yang dalam istilah Syamsuddin Arif sebagai “revisionis”, manyatakan bahwa Islam telah masuk ke wilayah Nusantara sejak awal abad ke-7 Masehi, tepatnya sejak zaman Khulafa ar-Rasyidin kurun pertama Hijriah. Pendapat yang kini diyakini mayoritas sarjana muslim ini didukung oleh data-data sejarah yang banyak, di antaranya, warta dari Cina zaman Dinasti T’ang (618-907 M) yang menyebut orang-orang Ta-Shih (Arab) mengurungkan niat mereka menyerang kerajaan Ho Ling yang diperintah Ratu Sima (674 M), maka beberapa ahli menyimpulkan bahwa orang-orang Islam dari tanah Arab sudah berada di Nusantara –diperkirakan Sumatra- pada abad ke-7 Masehi, (Uka Tjandrasasmita, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-kota Muslim di Indonesia dari Abad XIII sampai XVIII Masehi, 2000).
Bukti lain juga diungkapkan oleh Ibrahim Bushori, merujuk angka tahun yang terdapat pada batu nisan seorang ulama bernama Syaikh Rukhnuddin di Baros, Tapanuli, Sumatra Utara, dimana tertulis tahun 48 H/670 M. Ada kemungkinan bahwa “kapur Barus” telah dikenal dan diekspor sampai ke Mesir untuk menghilangkan bau busuk mayat. Beberapa sejarawan seperti Hamka dan Al-Attas percaya bahwa lafaz “kaafuur” yang disebut Alquran (86:5) adalah kapur dari Baros. Maka tak salah jika disimpulkan bahwa Islam masuk ke Nusantara sejak abad pertama Hijriah, atau abad kedatangannya di jazirah Arabia. Dan bukan mustahil pula jika Rasulullah SAW sebagai manusia bertindak sesuai anjuran wahyu telah mengutus para sahabatnya untuk berangkat berdakwah ke Nusantara, (Al-Attas, Historical Fact and Fiction, 2011).
Bahkan di kemudian hari, telah dijumpai bukti-bukti historis hubungan diplomatik internasional kerajaan Sriwijaya dengan penguasa di era Bani Umayyah, antara lain adalah dua pucuk surat. Surat pertama, sebagaimana ditulis oleh seorang ilmuan Arab bernama Al-Jahiz (163-255 H/783-869 M) yang di antara karyanya adalah Kitab Al-Hayawan, bahwa sepucuk surat ditujukan kepada Mu’awiyah bin Abi Sufyan (41 H/661 M). “Dari Raja Al-Hind [Kepulauan India] yang kandang binatangnya berisikan seribu gajah, dan istananya terbuat dari emas dan perak, yang dilayani seribu putri raja-raja, dan memiliki dua sungai besar [Musi dan Batanghari] yang mengairi pohon gaharu, kepada Mu’awiyah…” Surat kedua jauh lebih jelas, dialamatkan kepada Umar bin Abdul Aziz (99-102 H/717-20 M), surat menunjukkan betapa hebatnya Maharaja Sriwijaya dan kerajaannya, “Dari Raja di Raja [Malik Al-Amlak=Maharaja]; yang adalah keturunan seribu raja; yang istrinya juga adalah anak cucu seribu raja; yang dalam kandang binatangnya terdapat seribu gajah; yang di wilayahnya terdapat dua sungai yang mengairi pohon gaharu, bumbu-bumbu wewangian, pala, dan kapur barus, yang semerbak wewangiannya sampai menjangkau jarak 12 mil; kepada Raja Arab [Umar bin Abdul Aziz], yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan Tuhan. Saya telah mengirimkan kepada Anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekadar tanda persahabatan; dan saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya dan menjelaskan tentang hukum-hukumnya”. (Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, 1994).
Pendapat revisionis ini juga didukung oleh Syaikh Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad ibn Talib Ad-Diamsyqi (w.1327 M) alias Syaikh Ar-Rabwah dalam kitabnya, Nukhbat ad-Dahr fi ‘Aja’ib al-Barr wal-Bahr, yang menulis bahwa Islam telah masuk ke Nusantara melalui Champa (Kamboja dan Vietnam) sejak zaman Khalifah Usmn bin Affan, atau sekitar tahun 30 H/651 M alias abad ke-7 Masehi.
Teori Islamisasi
Selain tahun, jalur atau rute islamisasi Nusantara juga menjadi bagian penelitian yang melahirkan perdebatan, penulis mencoba memaparkan teori islamisasi yang dimunculkan oleh para peneliti. Teori Gujarat: Islam dibawa masuk ke Nusantara oleh saudagar-saudagar dari Gujarat, India. Jadi orang-orang Islam yang menyebarkan agamanya di Indonesia tidak langsung datang dari negeri Arab, sebab unsur-unsur keislaman di Indonesia yang mirip dengan India, seperti cerita-cerita rakyat dalam bahasa-bahasa yang ada di Nusantara tidak ada di Arab namun berasal dari India. Dikatakan pula bahwa kebiasaan muslim di Indonesia menunjukkan beberapa kesamaan dengan kebiasan penganut Syiah di Pantai Malabar dan Karomandel. Selain itu, berdasarkan kisah perjalanan seorang pelaut bernama Sulayman tahun 851 M serta catatan Marco Polo dan Ibnu Batutah yang transit di Sumatra pada abad ke-14 Masehi. Maka disimpulkanlah jika kedatangan Islam pasti melalui jalur perdagangan dari Teluk Persia ke Pantai Barat India, lalu dari Gujarat dan Malabar masuk ke Nusantara. Pendapat ini dipegang oleh Hurgronje, dan diterima luas oleh sejarawan seperti R.A. Kern, Stapel, H.J.Van den Bergh, H. Kroeskamp, hingga Rosihan Anwar, (Rosihan Anwar, Sejarah Kecil ‘petite histoire’ Indonesia, 2009). Pendapat di atas seakan telah menjadi kesepakatan umum hingga akhirnya seorang orientalis bernama G.E. Morrison menunjukkan kekeliruan dan beberapa kejanggalan faktual. Menurut Morrison, tidak mungkin Islam di Nusantara berasal dari propinsi Gujarat, sebab Marco Polo menceritakan Cambay pada tahun 1293 sebagai kota Hindu, sementara Gujarat baru jatuh ke tangan Islam pada tahun 1297 M. Selain itu di Gujarat mazhab syafi’i tidak dominan dan cerita-cerita rakyat Aceh lebih diwarnai rasa Tamil daripada Hindi, (Armando Cortesao [Ed.], The Suma Oriental of Tome Pires, 1990).
Teori Persia. Bahwa Islam di Nusantara dibawa masuk oleh para pendatang dari Persia dengan dalih dan dalil banyaknya data-data sejarah yang kuat mengenai pelayaran orang-orang Persia ke India via Nusantara ke Cina bahkan sejak zaman pra-Islam, (Hadi Hasan, A History of Persian Navigation, 1928). Pemberita Cina, Yuan-Tchao, dalam Tcheng-yuan-sin-ting-che-kiao-mou-lou yang ditulisnya pada awal bada ke-9 mencatat bahwa pada tahun 99 H/717 M ada sekitar 35 kapal dari Persia tiba di Palembang. Selain itu, data linguistik juga menguatkan dugaan bahwa penyebaran Islam datang dari rute Persia, tidak sedikit kata dalam bahasa Melayu-Indonesia yang berasal dari bahasa Persia, seperti, ‘bandar’, ‘syah’, ‘pasar’, ‘penjara’, ‘gandum’, dst., (Ahmad Kazem Mossavi, Kehadiran Tasawuf-Persia dalam Literatur Nusantara [Malaysia-Indonesia], Jurnal Islamia, Vol. II. No. 3/Desember 2005). Bahkan istilah “Zibrad” dalam bahasa Persia bermakna “Negeri di Bawah Angin” alias “Toddang Anging” dalam bahasa Bugis, merupakan frasa navigasi yang dipakai pelaut dari teluk Persia menuju Benggala, dan kepulauan Nusantara. Hasil penelitian ini di kemukakan oleh G.E. Morrison. Namun masih kabur, apakah Islam yang datang ke Nusantara melalui Persia itu versi Syiah atau Sunni. Dijawab oleh Al-Attas bahwa ajaran Syiah di Persia baru mulai berkembang abad ke-17 M ketika Syah Ismail Safawi memerintah Iran bukan sebelumnya, ( Wan Daud, Budaya Ilmu, Satu Penjelasan, 2007). Tegasnya: jika memang Islam melewati rute Persia, maka dipastikan kalau penganut Ahlussunnah yang menjadi penyebarnya, bukan Syiah. Tesis Al-attas sekaligus membuyarkan dugaan spekulatif Jalaluddin Rakhmat bahwa Syiah sedari awal telah berada di Nusantara, dan mereduksi dongeng orang awam bahwa Islam Indonesia pada awalnya adalah Syiah minus imamah.
Teori Benggala. Islam masuk ke Nusantara melalui rute Benggala, pendapat ini dimunculkan oleh S. Qadarullah Fatimi yang berdasar pada laporan Tome Pires (1512-1515), berita-berita Cina, serta unsur tasawuf yang terdapat di Indonesia dan Malaysia. Menurut Fatimi, pendiri kerajaan Islam pertama di Aceh adalah Merah Silau yang berasal dari Benggala. Kesimpulan ini diambilnya dari catatan perjalanan Tome Pires yang mengabarkan bahwa raja-raja di Sumatra pada waktu itu telah beragama Islam. Petunjuk lainnya adalah, kebiasaan orang Nusantara memakai kain “sarung” yang dikatakan sama dengan kebiasaan orang Benggala. (S.Qadarullah Fatimi, Islam Comes to Malaysia, 1963).
Teori Mesir. Karena Islam yang diamalkan di Nusantara bercorak Sunni-Syafi’i, maka ada kemungkinan asalnya dari negeri Mesir, karena negeri inilah yang terbanyak pengikut Syafi’i-nya, dan di sana pula Imam Syafi’i (w.204 H) tutup usia. Pendapat ini dilontarkan oleh S. Keyzer, profesor hukum ketimuran dari Belanda. Tapi Keyser langsung dibantah oleh G.W.J Drewes yang menuding bahwa Keyser tidak tahu jika orang Arab yang datang ke Nusantara mayoritas dari Hadramaut, Yamman, dimana mazhab mereka adalah Syafi’i, andai dia tahu, niscaya akan berpendapat bahwa Islam datang ke Nusantara via Yamman, (G.W.J Drewes,New Light on the Coming of Islam to Indonesia, 1985).
Teori Cina. Islam datang ke Nusantara melalui muslim dari Cina. Sesuai dengan penuturan I-Tsing, seorang agamawan dan pengembara terkenal Cina yang pada tahun 51 H/671 M, dengan menumpang sebuah kapal milik orang Islam dari Kanton, singgah di pelabuhan muara sungai Bhoga atau Sriboga alias Sribuza, nama lain dari sungai Musi di Palembang yang menjadi pusat kerajaan Sriwijaya ketika itu. Pendapat ini dilontarkan oleh Slamet Muljana seorang pakar sejarah dan ahli filologi dari Universitas Indonesia, menurutnya Islam di Nusantara datang, bukan hanya menopoli dari wliayah India dan Timur Tengah tapi juga dari negeri Cina, tepatnya propinsi Yunan. Kedatangan Cheng Ho alias Zheng He alias H. Mahmud Syamsuddin (w.1433) dari Dinasti Ming dengan maksud mengamankan jalur lalu lintas laut dari Cina ke India, Arabia dan Afrika di samping mengadakan hubungan diplomatik pada kerajaan-kerajaan Nusantara sebagai bukti yang absah, (Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara, 2005). Tapi pendapat Muljana di atas dipertanyakan oleh Syamsuddin Arif karena sumber pendapatnya diambil dari buku sejarah yang tidak resmi seperti Babad Tanah Jawa dan Serat Kenda yang ditulis pada zaman kerajaan Mataram abad ke-17 yang perlu dipertanyakan keotentikannya karena kitab tersebut bercampur baur antara fiksi dan fakta serta tidak ditopang dengan bukti-bukti keras semacan prasasti. Hal ini juga dibantah oleh Ahmad Mansur Suryanegara, ahli sejarah dari Universitas Padjadjaran Bandung, menurutnya, kesimpulan Muljana sukar diterima, (Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, 2009).
Teori Arabia. Diyakini bahwa tersebarnya agama Islam di Nusantara berkat usaha para mubalig dari jazirah Arabia secara sistematis dan kontinuitas. Meski tidak dapat dipastikan waktunya, kapan pertama kali mereka datang berdakwah. Namun banyaknya informasi tentang hubungan sudah berjalin selama berabad-abad antara jazirah Arabia dan Nusantara semenjak pra-Islam menjadikan pendapat ini lebih valid. Dokumen-dokumen kerajaan Cina Dinasti T’ang (618-907) menyebut tentang kunjungan orang Arab pada zaman Khalifah Utsman bin Affan. Dan tak kala muncul kerajaan Sriwijaya di Sumatra, perairan Nusantara semakin kerap dilalui oleh kapal-kapal dagang dari Arabia dan Persia dalam pelayarannya via India ke Cina. Teori ini diamini oleh Sir John Crawfurd, Thomas Arnold, dan Al-Attas. Alasannya, karena orang Arab yang pertama kali mengajarkan Islam ke Nusantara pastilah bermaszhab Syafi’i yang berada pada kawasan pesisir Arabia tempat mereka mengangkat sauh. Dan memang iya, buktinya penganut Islam yang ada di Nusantara adalah umumnya bermazhab Syafi’i. Teori Arabia ini mengantarkan kita pada kesimpulan di bawah.
Kesimpulan
Seminar Historiografi Islam Indonesia yang diselenggarakan oleh Puslitbang Kementrian Agama RI pada 10-12 Desember 2007 di Cisarua Bogor dan dihadiri oleh para ahli disiplin ilmu terkait, termasuk Azyumardi Azra, Badri Yatim, Maidir Harun, Ahmad Mansur Suryanegara, dan para wakil dari sejumlah perguruan tinggi dan ormas Islam, serta para peneliti. Ditegaskan bahwa agama Islam masuk ke Nusantara sejak abad ke-7 Masehi atau pertama Hijriah, langsung dibawa oleh para ahli agama dari Arabia (Yaman) yang datang ke gugusan pulau-pulau di semenanjung Melayu, seperti Sumatra. Agama Islam sendiri secara resmi masuk ke Yaman melalui seorang sahabat yang diutus langsung oleh Nabi, Mu’az bin Jabal yang sekaligus menjadi gubenur di sana pada tahun 630 M. Bersama para saudagar dari sana pula ulama muablig itu berlayar ke Cina menelusuri kawasan Asia Selatan (India, Benggala) sampai ke Sumatra. Pelayaran mereka sangat bergantung pada angin Barat Laut yang bertiup pada bulan September dan akhir Desember, sehingga mereka harus menunggu dan singgah terlebih dahulu di kawasan Sumatra dan Malaya selama beberapa bulan, sebelum meneruskan pelayaran ke tempat tujuan. Sebagian mereka sengaja datang dan menetap hanya untuk berdakwah. Inilah fakta islamisasi Nusantara sesungguhnya yang ingin dikaburkan oleh para orientalis dan penganut ajaran sesat Syiah. Wallahu A’lam!
Sumber: