Berpuasa pada Hari yang Meragukan |
Hari yang meragukan yang dilarang puasa adalah pada tanggal 30 Sya'ban. Di mana saat itu, jika tidak terlihat hilal karena tertutup oleh mendung, maka bulan Sya'ban digenapkan menjadi 30 hari. Ada yang punya inisiatif dalam rangka hati-hati tetap saja berpuasa pada hari yang meragukan tersebut. Ini yang terlarang sebagaimana hadits yang kita bawakan saat ini. Beda halnya jika ia punya kebiasaan puasa sunnah pada hari ke-30 tersebut, seperti puasa Senin Kamis, puasa Daud atau membayar qodho' puasa.
Dalam Bulughul Marom no. 651, Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah membawakan hadits,
وَعَنْ عَمَّارِ بْنِ يَاسِرٍ - رضي الله عنه - قَالَ: - مَنْ صَامَ اَلْيَوْمَ اَلَّذِي يُشَكُّ فِيهِ فَقَدْ عَصَى أَبَا اَلْقَاسِمِ - صلى الله عليه وسلم - - وَذَكَرَهُ اَلْبُخَارِيُّ تَعْلِيقًا, وَوَصَلَهُ اَلْخَمْسَةُ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَةَ, وَابْنُ حِبَّانَ
Dari 'Ammar bin Yasir radhiyallahu 'anhu, ia berkata, "Siapa yang berpuasa pada hari yang meragukan, maka ia telah durhaka pada Abul Qosim, yaitu Rasulullah -shallallahu 'alaihi wa sallam-." Hadits ini disebutkan oleh Bukhari secara mu'allaq (tanpa sanad). Hadits ini dinyatakan maushul (bersambung sampai Rasulullah -shallallahu 'alaihi wa sallam-) oleh yang lima, yaitu Abu Daud, Tirmidzi, An Nasai, Abu Daud dan Ahmad. Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban.
وَعَنْ عَمَّارِ بْنِ يَاسِرٍ - رضي الله عنه - قَالَ: - مَنْ صَامَ اَلْيَوْمَ اَلَّذِي يُشَكُّ فِيهِ فَقَدْ عَصَى أَبَا اَلْقَاسِمِ - صلى الله عليه وسلم - - وَذَكَرَهُ اَلْبُخَارِيُّ تَعْلِيقًا, وَوَصَلَهُ اَلْخَمْسَةُ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَةَ, وَابْنُ حِبَّانَ
Dari 'Ammar bin Yasir radhiyallahu 'anhu, ia berkata, "Siapa yang berpuasa pada hari yang meragukan, maka ia telah durhaka pada Abul Qosim, yaitu Rasulullah -shallallahu 'alaihi wa sallam-." Hadits ini disebutkan oleh Bukhari secara mu'allaq (tanpa sanad). Hadits ini dinyatakan maushul (bersambung sampai Rasulullah -shallallahu 'alaihi wa sallam-) oleh yang lima, yaitu Abu Daud, Tirmidzi, An Nasai, Abu Daud dan Ahmad. Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban.
Dikatakan durhaka kepada Abul Qosim yaitu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam karena ia telah menyelisihi perintah rasul dengan meninggalkan yang wajib. Perbuatan ini termasuk maksiat. Lihat Fathu Dzil Jalali wal Ikrom, 7: 31.
Beberapa faedah dari hadits di atas:
1- Hadits ini menunjukkan haramnya berpuasa pada hari meragukan karena maksiatnya adalah bentuk kedurhakaan pada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
2- Hadits ini dihukumi marfu' sebagai sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam karean 'Ammar tidaklah mengatakan demikian kecuali setelah memiliki ilmu dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Hadits ini juga memiliki penguat dari hadits yang telah diterangkan sebelumnya tentang mendahului puasa dengan satu atau dua hari puasa, juga hadits yang memerintahkan memulai puasa dengan melihat hilal.
3- Yang dimaksud hari yang meragukan adalah 30 Sya'ban jika tidak dapat melihat hilal karena tertutup mendung atau awan. Pada hari tersebut tidak dibolehkan puasa. Yang diperintahkan adalah menggenapkan bulan Sya'ban menjadi 30 hari sebagaimana ada hadits yang disebutkan selanjutnya dalam Bulughul Marom,
فَإِنْ غُبِّىَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ
"Jika hilal tidak nampak bagi kalian, maka genapkanlah bulan Sya'ban menjadi 30 hari." (HR. Bukhari no. 1909). Dilarang berpuasa pada hari tersebut karena asalnya hari tersebut yang tidak terlihat hilal masih dihukumi bulan Sya'ban. Hari tersebut belum masuk bulan Ramadhan kecuali dengan ilmu yakin.
4- Tidak mengapa menyebut Rasul dalam rangka memberitakan dengan selain sebutan Rasul atau Nabi. Namun ketika memanggil beliau langsung, tidaklah demikian. Akan tetapi, menyebut Rasul dengan Rasul atau Nabi lebih utama daripada menyebut nama kunyah.
Semoga sajian ringkas ini bermanfaat. Hanya Allah yang memberi taufik.
Referensi:
Fathu Dzil Jalali wal Ikrom bi Syarh Bulughil Marom, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, terbitan Madarul Wathon, 7: 37-38.
Minhatul ‘Allam fii Syarh Bulughil Marom, Syaikh ‘Abdullah bin Sholih Al Fauzan, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan ketiga, tahun 1432 H, 5: 9-10.
@ Karawaci, Tangerang, Hotel Mentari, malam kamis, 18 Sya'ban 1434 H
Artikel Rumaysho.Com