MANUSIA SETENGAH FAQIH DAN MANUSIA SETENGAH DOKTER

Dalam pembahasan Al-Hajru (pelarangan untuk melakukan pengelolaan kekayaan bagi anak kecil atau orang bodoh), terkadang para ulama mengaitkannya dengan Al-Hajru terhadap orang bodoh yang mutaalim (sok berilmu), dan juga para dokter yang tidak memiliki kompetensi.

Dalam hal ini negara wajib melarang keduanya mendekati ranah fatwa atau membuka praktek pengobatan.

Meskipun Abu Hanifah tidak sejalan dengan jumhur dalam penerapan Al-Hajru terhadap anak kecil dan orang bodoh karena pertimbangkan sisi kemanusiaan, tetapi dalam kasus orang-orang yang mutaalim (sok berilmu) dan dokter yang tidak berkompetensi beliau sejalan dengan jumhur.

Bahwa orang-orang yang keilmuannya belum matang tidak diperbolehkan berfatwa, atau menyampaikan pandangan keagamaan ditengah khalayak ramai. Karena yang wajib baginya adalah belajar. Begitu juga dengan dokter.

Kesimpulan ini diambil untuk mencegah segala kemungkinan buruk yang ditimbulkan keduanya, yaitu oleh manusia setengah faqih dan manusia setengah dokter.

Dimana bahaya tersebut tidak hanya berakibat buruk pada keduniaan orang lain tapi juga pada agama dan akhiratnya.

Kami tidak bermaksud menghalangi para penuntut ilmu dari menyampaikan ilmu. Tapi hendaknya setiap orang menyadari kapasitas dirinya. Jangan ikut campur pada masaalah yang bukan porsinya.

(Catatan kecil di majelis Syaikh Muhammad bin Muhammad Al-Mukhtar As-Syinqity -hafidzahullah-)

______________
Madinah 28-01-1437 H
ACT El-Gharantaly

Sumber: Aan Chandra Thalib