Home » » Uslub (metode) dakwah: antara lemah-lembut dan keras

Uslub (metode) dakwah: antara lemah-lembut dan keras


Muqoddimah
Islam memiliki cara dan metode dalam berdakwah sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi. Tentunya hal itu tidak lepas dari bimbingan syari’at. Terkadang dakwah harus disampaikan dengan sikap lemah lembut dan terkadang dengan sikap keras, tegas, dan lugas. Namun sikap yang kedua ini sering dianggap sebagai sikap yang salah dan tidak mengandung hikmah. Bahkan terkadang dianggap dapat menimbulkan akibat yang fatal bagi dakwah itu sendiri. Sehingga muncul protes dari berbagai pihak ketika salah seorang da’i bersikap keras, tegas dan lugas dalam dakwahnya.

Fenomena ini tampak ketika salah seorang Ahlus Sunnah berdakwah kepada sunnah dan membela Ahlus Sunnah sekaligus membantah bid’ah dan ahlul bid’ah dengan tegas. Maka muncul berbagai macam protes dari berbagai kelompok dakwah yang ada. Mereka menganggap bahwa sikap keras, tegas, dan lugas dalam dakwah tidak mencerminkan akhlak mulia karena mengandung kezhaliman terhadap pihak lain dan menyebabkan umat lari dari seruan dakwah.

Anggapan mereka ini timbul dari prinsip dakwah mereka yang bathil berupa semboyan yang mengajak kepada perasatuan kaum Muslimin walaupun di atas kebathilan. Setiap hal yang berakibat memecah-belah kaum Muslimin harus dijauhkan dari dakwah.

Fakta ini sering memunculkan di tengah-tengah dakwah mereka sikap basa-basi, tidak terus terang dan lemah lembut yang bukan pada tempatnya. Justru keberadaan dakwah mereka beserta segala sikap yang menyimpang itu menambah kekaburan bagi kaum Muslimin dalam menilai Al Haq. Sehingga banyak kaum Muslimin tak bisa membedakan antara yang haq dan yang bathil serta tak sedikit pula diantara mereka yang menyangka bahwa yang haq itu adalah bathil dan yang bathil itu adalah haq.

Lalu bagaimana sebenarnya Islam berbicara tentang sikap keras, tegas, dan lugas dalam dakwah? Untuk menjawab pertanyaan ini marilah kita lihat nash-nash Al Qur’an dan As Sunnah serta beberapa penjelasan para ulama dalam masalah ini.

Nash Al Quran Dan As Sunnah Serta Penjelasan Para Ulama Tentang Sikap Keras Ketika Pengharaman Allah Dilanggar Dan Ketika Hukum Had Ditegakkan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya):
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhir ….” (QS. An Nur: 2)

Imam Bukhari dalam menafsirkan firman Allah yang berbunyi:
“ … janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah.” Mengatakan: “Maksudnya adalah janganlah mencegah kalian untuk menegakkan hukum-hukum had karena belas kasihan kepada orang yang akan dihukum dan janganlah kalian memperingan pukulan agar tidak menyakitkan. Pendapat ini adalah pendapat sekelompok Ahli Tafsir” (Tafsir Al Qurthubi jilid 6 halaman 111, cetakan Darul Kutub IImiyah)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam menafsirkan ayat di atas berkata:
“Secara umum Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang segala perkara (baca: belas kasihan) yang diperintahkan oleh setan ketika memberikan siksa (pada setiap pelanggaran, pent.).

Demikian pula terlebih khusus pada perbuatan-perbuatan keji. Karena hal itu dibangun atas dasar cinta, syahwat atau kasih sayang yang dihiasi oleh setan dengan rasa kecenderungan hati dan kasihan kepada para pelaku kekejian. Akhirnya, kebanyakan manusia disebabkan oleh penyakit ini masuk ke dalam sikap kurang cemburu dan kurang semangat (dalam menegakkan hukum-hukum Allah yang telah ditetapkan, pent.).

Mereka beranggapan bahwa sikap ini termasuk sikap kasih sayang, lemah lembut, dan akhlak mulia terhadap makhluk. Padahal yang demikian adalah sikap yang menunjukkan kurang rasa cemburu, kerendahan, tidak agamis, dan keimanan yang lemah. Membantu mereka atas sikap yang demikian berarti saling tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan serta meninggalkan sikap untuk saling mencegah dari kekejian dan kemungkaran.” (Daqaiqut Tafsir karya Ibnu Taimiyah 3/385)

Pada sebuah riwayat yang shahihah dari ‘Aisyah radliyallahu ‘anha diceritakan bahwa orang-orang Quraisy merasa belas kasihan terhadap seorang wanita dari Bani Makhzum yang telah mencuri.

Mereka berkata: “Tak ada seorang pun yang berani membicarakan tentang pembelaan (terhadap wanita tersebut) kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam melainkan Usamah bin Zaid, kekasih Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.”

Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda: “Apakah engkau (Usamah) memberi pembelaan bagi pelanggaran terhadap salah satu dari batas-batas Allah?!”

Kemudian beliau berdiri dan berkhutbah lalu bersabda: “Wahai sekalian manusia, tidaklah orang-orang sebelum kalian sesat melainkan karena apabila seorang yang mulia mencuri, mereka membiarkannya. Sedangkan apabila seorang yang lemah mencuri, mereka tegakkan hukuman atasnya. Demi Allah, kalaulah seandainya Fatimah binti Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mencuri, aku akan memotong tangannya.” (HR. Bukhari dalam Kitabul Hudud bab Karahiyah Syafaah Fil Hadd Idza Rufi’a Ilas Sulthan hadits nomor 6778, 12/87)

Dalam firman-Nya, Allah memerintahkan Nabi-Nya untuk menggunakan sikap keras dan tegas ketika berhujjah dengan kaum munafik. Allah berfirman (yang artinya): “Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka Jahannam. Dan itulah tempat kembali yang seburuk-buruknya.” (QS. At Taubah: 73)

Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhu dalam menafsirkan ayat di atas berkata: “Allah memerintahkannya (yakni Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam) untuk berjihad (melawan) orang-orang kafir dengan pedang sedangkan orang-orang munafiq dengan lisan dan menghilangkan sikap lemah lembut terhadap mereka.” (Tafsir Ath Thabari 14/358-359 dan Tafsir Al Baghawi 5/311)

Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Mas’ud Al Anshari radliyallahu ‘anhu, dia berkata: “Seorang laki-laki berkata (kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam): “Wahai Rasulullah, hampir saja aku tidak mengerti shalat kami yang diimami oleh si fulan karena sangat panjang.” Maka aku (perawi) tidak pernah melihat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam marah dalam menasehati yang lebih keras daripada hari itu. Beliau bersabda : “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kalian telah membuat orang lari. Maka barangsiapa shalat mengimami manusia hendaklah dia memperingan (shalatnya) karena diantara mereka ada orang yang sakit, lemah, dan orang yang memiliki kebutuhan.” (HR. Bukhari)

Al ’Allamah Al ’Ainy berkata dalam mengomentari hadits di atas: “Pada hadits ini terdapat makna yang menunjukkan tentang bolehnya marah karena perkara-perkara agama yang diingkari.” (‘Umdatul Qari’ 2/107)

Imam Ad Darimi telah meriwayatkan dari Jabir radliyallahu ‘anhu bahwasanya Umar bin Khaththab radliyallahu ‘anhu mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dengan membawa satu naskah dari Taurat seraya berkata: “Ya Rasulullah, ini adalah satu naskah dari Taurat.” Kemudian beliau diam. Setelah itu beliau mulai membacanya. Wajah Rasulullah pun berubah. Maka Abu Bakr radliyallahu ‘anhu berkata: “Celaka engkau, apakah engkau tidak melihat wajah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam? Umar menoleh kepada wajah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam seraya berkata: “Aku berlindung kepada Allah dari kemarahan Allah dan Rasul-Nya. Kami ridla Allah sebagai Rab (kami), Islam sebagai agama (kami), dan Muhammad sebagai Nabi (kami).” Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda: “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, kalau seandainya Musa muncul di hadapan kalian niscaya kalian akan mengikutinya dan meninggalkanku. Sungguh kalian telah sesat dari jalan yang lurus. Kalau seandainya Musa itu hidup dan mendapatkan kenabianku niscaya dia akan mengikutiku.” (Sunan Ad Darimi nomor hadits 44, 1/95)

Imam Bukhari dalam Shahih-nya pun bahkan membuat dua bab yang berkaitan dengan masalah ini. Yang pertama, bab tentang marah dalam memberi nasehat dan pelajaran apabila dia melihat sesuatu yang dibenci. Yang kedua, bab tentang perkara-perkara yang diperbolehkan marah dan bersikap keras karena perintah Allah Ta’ala. Kemudian Imam Bukhari membawakan beberapa hadits yang menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam marah dan bersikap keras ketika melihat sebagian shahabatnya melakukan perkara-perkara yang dibencinya.

Para pelajar (thalabatul-’ilmi), terutama para dai, hendaklah dapat membedakan antara al- mudârah dan al-mudâhanah.

Al-mudârah ialah sesuatu hal yang dianjurkan. Ia berhubungan dengan sikap lemah lembut dalam pergaulan, sebagaimana disebutkan dalam kitab Lisanul-‘Arab : “Bersikap al-mudârah terhadap orang lain, yaitu dengan bersikap ramah-tamah kepada mereka, bermu’amalah dengan cara yang baik, dan bersabar menghadapi gangguan mereka, sehingga mereka tidak menjauh darimu”.

Sedangkan al-mudâhanah (menjilat) adalah sikap yang tercela. Ia berhubungan dengan masalah agama.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
Maka mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu). (Qs al-Qalam/68:9).

Al-Hasan al-Bashri menafsirkan makna ayat ini dengan berkata: “Mereka menginginkan agar engkau berpura-pura dalam agamamu di hadapan mereka, sehingga mereka juga akan berpura-pura pula dalam agama mereka di hadapanmu”. (Tafsir al-Baghawi, 4/377).

Dengan demikian, orang yang bersikap mudârah akan berlemah-lembut dalam pergaulan, tanpa meninggalkan sedikit pun dari prinsip agamanya. Sedangkan orang yang bersikap mudâhin, ia akan berusaha menarik simpati orang lain dengan cara meninggalkan sebagian prinsip agamanya.

Sungguh, dahulu Nabi Shallallahu ’alaihi wa Sallam merupakan figur yang paling baik akhlaknya, dan paling lemahlembut terhadap umatnya. Ini merupakan perangai lemah-lembut dan ramah tamah dari beliau Shallallahu ’alaihi wa Sallam.

Di sisi lain, beliaun adalah orang paling kuat dalam (mengemban) agama Allah, sehingga beliau Shallallahu ’alaihi wa Sallam tidak akan meninggalkan prinsip agama, meski hanya satu, walau di hadapan siapapun. Inilah perwujudan keteguhan hati beliau dalam mengemban (prinsip-prinsip) agama yang sangat bertentangan dengan sikap mudâhanah (menjilat).

Hendaklah para pelajar memerhatikan perbedaan antara kedua perangai ini, karena sebagian orang beranggapan bahwa bersikap ramah-tamah kepada orang lain dan berlemah lembut sebagai tanda kelemahan dan luluh dalam (mengemban perintah) agama. Pada saat lainnya ada yang beranggapan bahwa sikap membiarkan orang lain dalam kebatilan dan berdiam diri tatkala melihat kesalahan merupakan bagian dari sikap (ar-rifqu).

Sudah barang tentu kedua kelompok (anggapan) ini salah dan tersesat dari kebenaran. Hal ini, hendaklah benar-benar diperhatikan dengan baik, karena salah paham dalam permasalahan ini sangat berbahaya. Dan tidak selamat darinya kecuali orang yang diberi taufiq (bimbingan) dan petunjuk dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

*Seorang dai dalam berdakwah kepada manusia memiliki dua metode syar’i yang disebutkan dalam banyak dalil yaitu:

- metode menarik simpati dan targhib (menganjurkan)
- metode hajr (memboikot/menjauhi) dan mengancam (at-tarhib).*


Sehingga merupakan kesalahan bila seseorang bersikap monoton (hanya menerapkan satu metode) saja kepada setiap orang. Oleh karena itu, dalam menghadapi seseorang yang menyelisihi kebenaran, hendaklah ia memilih metode yang paling memiliki harapan besar sehingga orang yang menyelisih kebenaran itu dapat menerima kebenaran dan kembali kepada jalan yang lurus.

Apabila dengan menarik simpati-lah yang lebih bermanfaat dan lebih besar harapannya bila diterapkan kepada seorang pelanggar, agar ia menjadi baik, maka cara inilah yang disyariatkan (dibenarkan) untuk menghadapi orang tersebut. Begitu juga sebaliknya, bila menerapkan hajr (memboikot) itu lebih berguna bila diterapkan kepadanya, maka cara inilah yang disyariatkan.

Barang siapa yang menerapkan metode menarik simpati (ta’lif) terhadap orang yang selayaknya dihajr (diboikot), maka ia telah bertindak gegabah dan lalai. Dan barang siapa yang menerapkan metode hajr (boikot) terhadap orang yang selayaknya ditarik simpatinya, maka ia telah berbuat munaffir (menjadikan orang lain lari) dan ekstrim (menyimpang).

Dalam sebuah hadits dari ‘Aisyah radliyallahu ‘anha, beliau berkata: “Tidaklah Nabiyullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam ketika diberi dua pilihan melainkan beliau memilih yang paling mudah dari keduanya selama tidak mengandung dosa. Apabila mengandung dosa, maka beliau menjauhkan diri dari keduanya. Demi Allah, beliau tidak pernah marah karena hal yang dilakukan terhadapnya kecuali jika pengharaman Allah dilanggar maka beliau marah karena Allah.” (HR. Bukhari)

Al Hafizh Ibnu Hajar Al ‘Asqalani menjelaskan dalam mengomentari hadits ini: “Dalam hadits ini terdapat anjuran untuk memberi maaf kecuali terhadap haq-haq Allah (yang tidak ditunaikan).” (Fathul Bari karya Ibnu Hajar 5/576)

Imam Ar Razi rahimahullah berkata: “Sikap lemah lembut dan kasih sayang hanya diperbolehkan apabila tidak menyebabkan pengabaian terhadap salah satu haq Allah. Jika sikap itu membawa kepada kondisi yang demikian maka tidak diperbolehkan.” (At Tafsirul Kabir 9/64 dan Gharaibul Qur’an wa Gharaibul Furqan karya An Naisaburi 4/ 107)

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah berkata:

“Ketentuan menghajr berbeda-beda sesuai dengan perbedaan orang yang menerapkannya, dipandang dari kuat, lemah, sedikit dan banyaknya jumlah mereka; karena tujuan dari (penerapan) hajr (boikot) ialah menghardik orang yang dihajr (diboikot), memberi pelajaran kepadanya, dan agar masyarakat luas meninggalkan kesalahan tersebut.

Sehingga apabila manfaat dan kemaslahatan yang dipetik dari sikap hajr (boikot) lebih besar (dibanding dengan kerugiannya), sehingga dengan ia diboikot, kejelekan menjadi melemah dan hilang, maka pada saat itulah hajr (boikot) disyariatkan.

Akan tetapi (jika sebaliknya), bila orang yang diboikot dan orang selainnya tidak menjadi jera, bahkan kejelekannya semakin bertambah, sedangkan pelaku hajr (boikot) kedudukannya lemah, sehingga kerugian yang ditimbulkan lebih besar dibanding maslahatnya, maka pada keadaan yang demikian ini, tidak disyariatkan hajr (boikot).

Bahkan terkadang menarik simpati (ta’lif) untuk sebagian orang itu lebih berguna dibanding memboikotnya, dan boikot untuk sebagian lainnya lebih berguna dibanding cara ta’lif (menarik simpatinya). Oleh karena itu, dahulu Nabi Shallallahu ’alaihi wa Sallam menarik simpati sebagian orang dan memboikot sebagian lainnya.

Sebagaimana yang demikian ini terkadang disyariatkan untuk menghadapi musuh dalam peperangan, saat perdamaian, dan terkadang dengan cara mengambil jizyah (upeti). Semua itu disesuaikan dengan situasi dan kemaslahatan.

Jawaban para imam, seperti imam Ahmad dan lainnya tentang permasalahan ini didasari oleh prinsip tersebut." (Majmû’ Fatâwâ, 28/206).

Beliau juga menjelaskan kesalahan orang yang menyamaratakan penerapan hajr (boikot) maupun ta’lif (menarik simpati) tanpa memperhatikan prinsip di atas, dengan mengatakan:

“Sebagian orang menerapkan hajr itu secara umum, sehingga mereka menghajr atau mengingkari orang yang tidak disyariatkan untuk dihajr itu, sehingga tidak diwajibkan dan juga tidak disunnahkan. Dan mungkin saja tidak memberlakukan hajr merupakan kewajiban atau disunnahkan, dan melakukannya menjadi terlarang. Sedangkan sebagian orang ada yang berpaling dari itu semua, sehingga ia enggan untuk memboikot (menjauhi) sesuatu yang diperintahkan untuk diboikot (dijauhi), yaitu berupa hal-hal buruk lagi bid’ah”. (Majmû’ Fatâwâ, 28/213).

Sepantasnya setiap orang yang hendak menerapkan masalah hajr (boikot) agar memperhatikan ketentuan-ketentuan syariat sebagaimana telah digariskan oleh para ulama yang memiliki kewenangan dalam masalah ini.

Sehingga berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, benar-benar dapat dibedakan secara jelas antara pelaku kesalahan yang disyariatkan (layak) untuk diboikot dengan orang-orang yang tidak semestinya diboikot. Ketentuan-ketentuan tersebut, di antaranya (sebagai berikut).

1. Berkaitan dengan yang melakukan pemboikotan.

Yang melakukan pemboikotan hendaklah orang yang kuat dan memiliki pengaruh. Sehingga pemboikotannya berpengaruh dalam menghentikan orang yang menyelisihi (kebenaran) tersebut. Akan tetapi, bila pemboikotnya adalah orang yang lemah, maka pemboikotannya tidak membuahkan hasil. Ketentuan ini berlaku bila tujuan pemboikotannya untuk memberikan pelajaran kepada pelaku kesalahan.

Adapun bila tujuannya untuk kemaslahatan yang melakukan pemboikotan, karena bila ia bergaul dengan pelaku kesalahan, ditakutkan akan timbul kerusakan dalam urusan agamanya, maka ia dibenarkan untuk memboikot setiap orang yang akan menimbulkan kerugian baginya, bila ia duduk-duduk atau bergaul dengannya. Hal ini, karena hajr (boikot) disyariatkan demi mencapai kemaslahatan pemboikotnya.

Realisasi dari pemboikotan ini ialah dengan cara memboikot setiap orang, yang bila ia bergaul dengannya akan merusak agamanya. Dan hajr ini pun disyariatkan untuk kemaslahatan orang yang diboikot. Yaitu dengan cara memboikot pelaku kesalahan, yang diharapkan akan mendapat pelajaran, bila diboikot. 

Hajr (boikot) juga disyariatkan demi mencapai kemaslahatan masyarakat luas. Yang direalisasikan dengan cara memboikot sebagian pelaku kesalahan, sehingga masyarakat menjadi jera dan takut untuk melakukan perbuatan seperti perbuatan mereka. Banyak dalil yang menunjukkan ketiga jenis pemboikotan ini.

2. Berkaitan dengan orang yang diboikot.

Pemboikotan diberlakukan, bila orang yang diboikot dapat mengambil manfaat dari pemboikotan itu, sehingga ia terpengaruh, dan kemudian kembali kepada kebenaran. Adapun bila tidak bermanfaat dengan pemboikotan itu, bahkan terkadang menjadikannya semakin bertambah jauh dan menentang, maka tidak disyariatkan untuk memboikotnya. Hal ini kembali kepada tabiat yang dimiliki seseorang, yaitu dalam kekuatan, keteguhan dan keengganan tunduk kepada orang lain. Walaupun kebinasaannya ada pada hal itu. Orang semacam ini tidak akan mendapatkan pelajaran dari hukuman dan pemboikotan. Namun terkadang bermanfaat dengan cara menarik simpati dan bersikap lemah lembut kepadanya.

Ada kalanya yang menyebabkan seseorang tidak mendapatkan manfaat dari pemboikotan dikarenakan adanya faktor-faktor luar. Misalnya, karena ia seorang pemimpin, atau kaya raya, atau orang yang memiliki kedudukan sosial tinggi di masyarakat. Orang-orang semacam mereka, biasanya pemboikotan tidak akan berguna, karena mereka yakin merasa tidak membutuhkan terhadap orang yang memboikotnya. Oleh karena itu, dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam melakukan ta’lif (menarik simpati) para pemimpin yang ditaati kaumnya dan para pemuka masyarakat, seperti Abu Sufyan, ‘Uyainah bin Hishn, al-Aqra’ bin Habis, dan yang serupa mereka.

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah berkata,¨Oleh karena itu, dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam melakukan ta’lif (menarik perhatian) pada sebagian orang dan memboikot sebagian lainnya, sebagaimana halnya tiga orang sahabat yang tidak ikut (dalam perang Tabuk) yang jelas lebih baik dari kebanyakan orangorang yang dijinakkan hatinya (muallafat qulubuhum). Hal ini, dikarenakan mereka (orang- orang yang dijinakkan hatinya tersebut) adalah para pemimpin yang ditaati di kabilah masing-masing¨. (Majmû’ Fatâwâ, 28/206).

3. Berkaitan dengan jenis pelanggaran.

Tidak ada jenis pelanggaran yang menunjukkan bahwa pelakunya selalu diboikot atau selalu tidak diboikot pada semua keadaannya. Sebagaimana anggapan sebagian orang bahwa hajr (boikot) hanya berlaku pada perbuatan bid’ah, dan tidak pada perbuatan maksiat. Atau pada bid’ah mukaffirah (yang menyebabkan pelakunya diklaim kafir) saja tanpa yang lainnya. Atau pemboikotan pada dosa-dosa besar, sedangkan pada dosa-dosa kecil tidak (perlu ada pemboikotan).

Yang benar, ialah disyariatkan memboikot setiap (pelaku) kesalahan, walaupun (kesalahan itu) kecil, apabila pelaku kesalahan itu merupakan orang yang disyariatkan untuk dihajr (diboikot), dan ia dapat mengambil manfaat dari pemboikotan itu. Dengan demikian, yang wajib dilihat dalam masalah hajr ini, ialah, apakah pelaku pelanggaran tersebut dapat mengambil manfaat dari pemboikotan atau tidak, tanpa memperhatikan besar kecilnya pelanggaran.

Oleh karena itu, bisa saja seorang shalih dan yang mengagungkan Sunnah itu diboikot, hanya karena kesalahan kecil. Sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam memboikot sebagian sahabatnya karena sebagian pelanggaran kecil. Sebagai contoh, beliau Shallallahu ’alaihi wa Sallam tidak menjawab salam ’Ammar bin Yasir Radhiallahu’anhu tatkala menggunakan minyak za’faran. (HR Abu Dawud dalam kitab as-Sunnan, 5/8), dan beliau Shallallahu ’alaihi wa Sallam tidak menjawab ucapan salam seorang sahabat yang memiliki kubah, sehingga sahabat itu menghancurkannya. (HR Abu Dawud, 5/402).

Kadang kala tidak disyariatkan memboikot sebagian pelaku pelanggaran besar, yang tingkat keshalihan pelakunya jauh di bawah orang-orang yang diboikot di atas.

Sebagai contoh, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam melakukan ta’lif (upaya menarik simpati) al-Aqra’ bin Habis dan ‘Uyainah bin Hishn. Bahkan beliau Shallallahu ’alaihi wa Sallam juga melakukan ta’lif terhadap sebagian orang munafiqin, seperti ’Abdullah bin Ubai dan yang serupa dengannya. Semua ini disesuaikan dengan kemaslahatan dan pertimbangan lainnya, sesuai ketentuan-ketentuan syariat dalam masalah pemboikotan.

4. Berkaitan dengan waktu dan tempat terjadinya pelanggaran.

(Dalam melakukan pemboikotan) hendaklah membedakan antara tempat, waktu yang banyak terjadi pelanggaran dan kemungkaran, dan juga dengan pelakunya yang memiliki kekuatan, dengan tempat dan waktu yang jarang terjadi pelanggaran, dan kekuatan pelakunya lemah.

Apabila kekuasaan pada waktu dan di tempat itu berada di tangan Ahlus-Sunnah, maka disyariatkan untuk menghajr (memboikot), tentunya dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan syariat lainnya; karena jika pelaku pelanggaran dalam keadaan lemah, maka ia akan menjadi jera dengan adanya pemboikotan itu. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman tentang kisah Sahabat Ka’ab bin Malik Radhiallahu’anhu dan kedua kawannya :

Hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja (Qs at-Taubah/9:118).

Sebagaimana pula teguran dan pendidikan telah berhasil dicapai melalui pemboikotan (yang dilakukan oleh) Sahabat Umar bin Khaththab Radhiallahu’anhu dan seluruh ummat terhadap diri Shabigh bin ’Asal, seperti telah diketahui bersama.

Apabila kekuasaan pada waktu dan tempat itu berada di tangan orang-orang jahat dan batil, maka tidak disyariatkan pemboikotan, kecuali pada momen-momen tertentu. Karena pemboikotan pada saat seperti ini tidak akan dapat merealisasikan tujuannya, yaitu berupa pendidikan dan teguran, bahkan kemungkinan orang-orang yang berpegang teguh dengan kebenaran akan mengalami hal-hal yang tidak diinginkan.

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah berkata,

Oleh karena itu, hendaknya dibedakan antara tempat-tempat yang banyak terjadi praktek-praktek bid’ah, sebagaimana banyak pemikiran bid’ah dari kaum Qadariyah (yang mengingkari takdir), ilmu nujum (tanjim) di kota Khurasan, dan tasyayu’ (pemikiran Syi’ah) di kota Kufah, dengan tempat-tempat yang tidak seperti itu. Dan hendaklah dibedakan antara para pemimpin yang memiliki pengikut, dengan yang lainnya. Apabila telah diketahui tujuan syariat tersebut, maka hendaklah ditempuh jalan tercepat untuk mencapai tujuan itu¨. (Majmû’ Fatâwâ, 28/206-207).

5. Berkaitan dengan masa pemboikotan.

Masa pemboikotan itu, hendaklah disesuaikan dengan keadaan pelaku pelanggaran dan jenis pelanggarannya. Karena ada orang-orang yang sudah jera bila diboikot selama satu hari, dua hari, satu bulan atau dua bulan, dan ada orang-orang yang membutuhkan waktu lebih lama dan lebih sedikit. Apabila tujuan pemboikotan telah tercapai, maka harus dihentikan. Karena, kalau tidak, akan muncul rasa putus asa dan putus harapan. Sebaliknya, bila masa pemboikotan kurang dari yang semestinya, maka tidak akan ada gunanya.

Tatkala Ibnul-Qayyim Rahimahullah menyebutkan faidah-faidah (manfaat) yang dapat diambil dari kisah pemboikotan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam terhadap Sahabat Ka’ab bin Malik Radhiallahu’anhu dan kedua kawannya, beliau Rahimahullah berkata:

“Dalam kisah ini terdapat dalil yang menunjukkan, bahwa pemboikotan seorang pemimpin, atau ulama, atau pemuka masyarakat terhadap orang yang melakukan suatu pelanggaran yang mengharuskan untuk dicela (diboikot), maka pemboikotan tersebut hendaklah sebagai obat. Yaitu dengan cara yang dapat merealisasikan perbaikan (penyembuhan) dan tidak berlebihan, baik dalam jumlah atau caranya sehingga dapat membinasakan orang tersebut. Karena tujuan (pemboikotan), ialah untuk memberikan pendidikan, bukan membinasakan¨. (Zâdul-Ma’ad, 3/20).

*Mengingkari pelaku pelanggaran dan membantahnya sebagai upaya memberikan nasihat kepada orang tersebut dan menjaga masyarakat dari kesalahannya, merupakan salah satu prinsip utama Ahlus-Sunnah. *

Bahkan pengingkaran itu termasuk jihad yang paling mulia. Akan tetapi, (dalam melakukan pengingkaran), harus memperhatikan ketentuan-ketentuan syariat dan syarat-syarat yang telah ditetapkan. Sehingga dari pengingkaran dan bantahan tersebut, dapat dicapai tujuan syariat.

Di antara ketentuan dan syarat tersebut, ialah sebagai berikut.

1. Pengingkaran itu, hendaklah dilakukan dengan penuh rasa ikhlas, niat yang jujur lagi murni, yaitu hanya karena ingin memperjuangkan kebenaran.

Di antara konsekwensi keikhlasan dalam masalah ini, yaitu perasaan senang bila pelaku pelanggaran mendapatkan petunjuk dan kembali kepada kebenaran. Dan konsekwensi ini, ialah dengan menempuh segala usaha yang dapat ia lakukan, sehingga hati pelaku pelanggaran tersebut dapat terbuka, dan bukan malah menjadikannya semakin jauh. Begitu pula, hendaklah dengan menyertakan doa kepada Allah untuk orang tersebut, agar ia diberi petunjuk, khususnya apabila orang tersebut dari kalangan Ahlus-Sunnah, atau selain mereka dari kalangan kaum Muslimin.

Dahulu saja, Nabi Shallallahu ’alaihi wa Sallam mendoakan untuk sebagian orang kafir agar mendapat petunjuk. Maka bagaimana halnya bila ia dari kalangan kaum Muslimin yang bertauhid? (Tentu lebih pantas untuk didoakan).

2. Bantahan terhadap orang yang melanggar, hendaklah dilakukan oleh seorang ulama yang benar-benar telah mendalam ilmunya.

Yaitu oleh seorang yang menguasai secara detail dari segala sudut pandang dalam permasalahan tersebut yang berkaitan dengan dalil-dalil syariat, keterangan para ulama’ dalam masalah itu, dan mengetahui tingkat penyelewengan orang yang melanggar tersebut dari kebenaran. Juga mengetahui sumber munculnya syubhat pada orang itu, dan keterangan para ulama’ seputar cara mematahkan syubhat yang dimunculkan tersebut, serta mengambil pelajaran dari keterangan mereka dalam permasalahan ini.

Juga, orang yang membantah hendaklah memiliki kekuatan mengemukakan dalil-dalil dalam menjelaskan kebenaran dan mematahkan syubhat, serta memiliki ungkapan-ungkapan mendalam, agar tidak kalah dalam sebagian hujjahnya, atau agar perkataannya tidak disalahpahami dengan sesuatu yang tidak sesuai ia inginkan. Karena, bila seseorang yang melakukan bantahan tidak memiliki kriteria ini, maka yang terjadi adalah kerusakan besar.

3. Tatkala membantah, hendaklah memerhatikan perbedaan tingkat pelanggaran, kedudukan agama ataupun sosialnya pada orang yang melanggar itu.

Begitu juga latar belakang pelanggaran, apakah karena kebodohan, atau hawa nafsu dan keinginan untuk berbuat bid’ah, atau salah pengungkapan, atau salah mengucapkan, atau karena terpengaruh oleh seorang guru, atau lingkungan masyarakatnya, atau karena memiliki takwil, atau faktor lainnya dari pelanggaran-pelanggaran syariat.

Barang siapa membantah pelaku pelanggaran, dengan tidak memedulikan dan tidak memerhatikan perbedaan-perbedaan ini, niscaya ia akan terjerumus ke dalam tindakan ekstrim (berlebih-lebihan) atau sebaliknya (kelalaian), yang akan menjadikan perkataannya tidak, atau kurang berguna.

*4. Tatkala membantah (orang yang melakukan pelanggaran), tindakan yang dilakukannya hendaknya berusaha (untuk) mewujudkan maslahat (tujuan) syariat. *

Sehingga, apabila tindakannya itu justru mendatangkan kerusakan yang lebih besar dibanding dengan kesalahan yang hendak dibantah, maka dalam keadaan demikian ini tidak disyariatkan untuk melakukan bantahan. Karena tidak dibenarkan menolak kerusakan dengan kerusakan lebih besar.

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyaht berkata,”Tidak dibenarkan menolak kerusakan kecil dengan kerusakan besar. Juga tidak dibenarkan mencegah kerugian ringan dengan melakukan kerugian yang lebih besar. Karena syariat Islam ialah untuk mewujudkan kemaslahatan dan menyempurnakannya, serta sedapat mungkin melenyapkan dan mengurangi kerusakan. Ringkasnya, bila tidak mungkin menyatukan antara dua kebaikan, maka syariat Islam (mengajarkan untuk) memilih yang terbaik. Begitu juga halnya dengan dua kejelekan, bila tidak dapat dihindarkan secara bersamaan, maka kejelekan terbesarlah yang dihindarkan.” (Al-Masail al-Mardiniyyah, 63-64).

*5. Bantahan itu hendaklah disesuaikan dengan tingkat tersebarnya kesalahan tersebut. *

Sehingga apabila suatu kesalahan hanya muncul di suatu negeri atau di masyarakat tertentu, maka bantahannya tidak layak disebarluaskan ke negeri atau masyarakat yang belum mendengar kesalahan itu, baik menyebarkannya melalui kitab, kaset atau sarana lainnya. Karena (hakikatnya) menyebarluaskan bantahan, berarti secara tidak langsung menyebarluaskan pula kesalahan itu. Sehingga bisa saja ada orang yang membaca atau mendengarkan bantahan itu, lalu syubhat-syubhatnya masuk ke dalam hati dan pikirannya, dan ia tidak merasa puas dengan bantahan itu.

Oleh karena itu, lebih baik membiarkan masyarakat tidak mendengar kebatilan dan kesalahan itu sama sekali, daripada mereka mendengarnya, dan setelah itu, kemudian (mereka) membantahnya.

Sesungguhnya ulama terdahulu mempertimbangkan hal ini dalam setiap bantahan mereka. Dalam kitab-kitab mereka, banyak kita dapatkan bantahan yang hanya menyebutkan dalil-dalil yang menjelaskan kebenaran, sebagai kebalikan dari kesalahan, tanpa menyebutkan kesalahan itu. Demikian ketinggian pemahaman para ulama terdahulu, yang tidak dimiliki orang pada zaman sekarang.

Pembahasan yang telah diutarakan, berkaitan dengan menyebarkan bantahan di negeri yang belum tersebar kesalahan, juga diterapkan pada pembahasan tentang menyebarkan bantahan di tengah-tengah sekelompok orang yang tidak mengetahui kesalahan itu, walaupun ia tinggal di negeri yang sama. Sehingga tidak seyogyanya menyebarkan bantahan, baik melalui buku ataupun kaset, ke tengah-tengah masyarakat yang tidak mengetahui atau tidak mendengar adanya kesalahan itu.

Berapa banyak orang awam yang terfitnah dan terjatuh kepada keraguan dan kebimbangan dalam masalah dasar agama, disebabkan banyak membaca buku-buku bantahan yang tidak dapat dipahami oleh akal pikiran mereka. Oleh karena itu, orangorang yang menyebarkan buku-buku bantahan ini hendaklah takut kepada Allahl dan berhati-hati, agar tidak menjadi penyebab terfitnahnya masyarakat dalam urusan agama mereka.

Di antara yang paling mengherankan dari yang saya dengar, bahwa sebagian pelajar membagi-bagikan sebagian buku bantahan kepada sebagian orang yang baru masuk Islam dari kalangan orang-orang yang keislamannya baru berjalan beberapa hari atau bulan. Kemudian, mereka mengarahkannya agar membaca buku tersebut. Alangkah sangat mengherankan tindakan mereka.

6. Hukum membantah pelaku kesalahan, ialah fardhu kifayah.

Apabila telah ada seorang ulama yang melaksanakannya, dan dengan bantahan dan peringatan yang ia lakukan, sehingga tujuan syariat (dalam hal itu) telah terwujudkan, maka tanggung jawab (kewajiban) para ulama lainnya telah gugur. Hal ini sebagaimana telah ditetapkan oleh para ulama dalam permasalahan hukum fardhu kifayah.

Termasuk suatu kesalahan, tatkala ada seorang ulama membantah seorang pelaku kesalahan (penyimpangan), atau fatwa yang memperingatkan dari kesalahan seseorang, banyak pelajar menuntut ulama lainnya, juga para pelajar lainnya agar menyatakan sikapnya terhadap ulama yang melakukan bantahan itu dan (juga kepada) pelaku kesalahan yang dibantahnya, atau atas fatwa itu.

Sampai-sampai menuntut para pelajar pemula, bahkan juga masyarakat awam agar menentukan sikapnya terhadap ulama pembantah dan pelaku kesalahan tersebut. Kemudian menjadikan permasalahan ini sebagai asas wala‘ dan bara‘ (loyalitas dan permusuhan), dan orang-orang pun saling menghajr (memboikot) hanya karena perkara ini.

Bahkan bisa jadi sebagian pelajar memboikot sebagian gurunya (syaikhnya) yang selama bertahun-tahun ia menimba ilmu dan akidah darinya, hanya karena permasalahan ini pula. Dan kadang kala pula, fitnah ini menyusup ke dalam keluarga, sehingga engkau mendapatkan seseorang memboikot saudaranya, seorang anak bersikap tidak sopan terhadap orang tuanya, bahkan kadang kala, seorang istri diceraikan dan anak-anak menjadi terpisah-pisah hanya karena permasalahan ini.

Bila engkau melihat fenomena yang menimpa masyarakat, niscaya engkau akan mendapatkan mereka terpecah menjadi dua kelompok, atau bahkan lebih. Setiap kelompok membidikkan berbagai tuduhan kepada kelompok lainnya, dan mewajibkan pemboikotan terhadapnya. Semua ini terjadi di antara orang-orang yang menisbatkan dirinya kepada as-Sunnah (Ahlus-Sunnah), yang sebelumnya setiap kelompok tidak dapat mencela akidah dan manhaj kelompok lain, sebelum terjadinya perbedaan ini. Fenomena ini kembalinya kepada kebodohan yang sangat tentang as-Sunnah (manhaj Ahlus- Sunnah), kaidah-kaidah mengingkari (kemungkaran) menurut Ahlus-Sunnah, atau kepada hawa nafsu (yang diikutinya), kita memohon perlindungan dan keselamatan kepada Allah.

Kesimpulan

Dari semua keterangan di atas ada beberapa kesimpulan yang dapat diambil:

1. Islam mengajarkan untuk bersikap keras, tegas, dan lugas dalam dakwah ketika:

a. Timbulnya pelanggaran terhadap pengharaman-pengharaman Allah dan saat ditegakkan hukum-hukum had.

b. Timbulnya penentangan dan pelecehan terhadap dakwah.

c. Timbulnya penyimpangan dari syari’ah yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak pantas hal itu terjadi pada dirinya. Seperti orang yang paham tentang syari’at kemudian menyelisihinya. Demikian pula orang yang menentang Al Haq padahal telah ditegakkan hujah atasnya dan lain-lain.
2. Sikap keras, tegas, dan lugas dalam dakwah dibenarkan apabila:

a. Sikap lemah lembut dan kasih sayang tidak mampu merubah orang yang terus-menerus dalam kemungkaran.

b. Dilakukan pada orang yang menentang Al Haq dan menampakkan kefasikan beserta kejelekannya secara terang-terangan.

c. Menimbulkan mashlahat yang lebih besar daripada kerusakan.

3. Telah salah orang yang beranggapan bahwa Islam hanya mengajarkan dakwah dengan sikap lemah lembut dan kasih sayang saja.

4. Dakwah dengan sikap keras, tegas, dan lugas jika pada tempatnya bukanlah suatu kezhaliman.

5. Dakwah dengan sikap keras, tegas, dan lugas yang pada tempatnya termasuk dakwah Ilallah yang menggunakan hikmah. Karena Islam mengajarkan untuk berdakwah dengan sikap yang demikian pada tempatnya. Mustahil Islam mengajarkan sesuatu yang tidak mengandung hikmah.

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala membalas kita dengan kebaikan dan pahala yang tidak terkira dan mudah-mudahan kaum Muslimin juga mendapatkan manfaat dengan membacanya.

Wallahu A’lamu Bish Shawwab.

Sumber:
- Salahkah Sikap Keras dalam Dakwah?? Oleh Al Ustadz Abu Muhammad Abdul Mu’thi Al-Maidani, url: http://salafiyunpad.wordpress.com/2009/04/21/salahkah-sikap-keras-dalam-dakwah/

- Sepuluh Nasihat Untuk Pemuda Ahlus Sunnah (point ke 4-7), url: http://bukhari.or.id/home/index.php?option=com_content&view=article&id=155:sepuluh-nasihat-untuk-pemuda-ahlus-sunnah&catid=21&Itemid=333

Sumber:
http://abuzuhriy.com/
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Rohis Facebook

Komentar baru tidak diizinkan.