Home » » Golongan Penerima Zakat (3)

Golongan Penerima Zakat (3)

Golongan Penerima Zakat

Masih tersisa tiga golongan yang berhak menerima zakat yang belum diulas rumaysho.com. Pertama, zakat disalurkan untuk orang yang terlilit utang dalam rangka melunasi utangnya. Kedua, zakat disalurkan untuk kepentingan fii sabilillah (jihad). Ketiga, zakat disalurkan untuk ibnus sabil (musafir yang kehabisan bekal di perjalanan).

Golongan keenam: orang yang terlilit utang.

Yang termasuk dalam golongan ini adalah:

Pertama: Orang yang terlilit utang demi kemaslahatan dirinya.

Namun ada beberapa syarat yang harus dipenuhi:

Yang berutang adalah seorang muslim.

Bukan termasuk ahlu bait (keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).

Bukan orang yang bersengaja berutang untuk mendapatkan zakat.

Orang yang berutang bukan dalam rangka maksiat seperti untuk minum minuman keras, berjudi atau berzina, kecuali jika ia bertaubat.

Utang tersebut mesti segera dilunasi, bukan utang yang masih tertunda untuk dilunasi beberapa tahun lagi kecuali jika utang tersebut mesti dilunasi di tahun itu, maka ia diberikan zakat.

Bukan orang yang masih memiliki harta simpanan untuk melunasi utangnya.

Kedua: Orang yang terlilit utang karena untuk memperbaiki hubungan orang lain. Artinya, ia berutang bukan untuk kepentingan dirinya. Dalil dari hal ini sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّ الْمَسْأَلَةَ لَا تَحِلُّ إِلَّا لِثَلَاثَةٍ رَجُلٍ تَحَمَّلَ بِحَمَالَةٍ بَيْنَ قَوْمٍ فَسَأَلَ فِيهَا حَتَّى يُؤَدِّيَهَا ثُمَّ يُمْسِكَ

“Sesungguhnya minta-minta (mengemis) itu tidak halal kecuali bagi tiga orang; yaitu orang laki-laki yang mempunyai tanggungan bagi kaumnya, lalu ia meminta-minta hingga ia dapat menyelesaikan tanggungannya, setelah itu ia berhenti (untuk meminta-minta).”[1]

Ketiga: Orang yang berutang karena sebab dhomin (penanggung jaminan utang orang lain). Namun di sini disyaratkan orang yang menjamin utang dan yang dijamin utang sama-sama orang yang sulit dalam melunasi utang.[2]

Mengenai contoh penyaluran zakat pada orang yang berutang disampaikan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, “Jika seseorang memiliki utang 10.000 riyal (Rp.25 jt). Gaji bulanannya sebesar 2000 riyal (Rp.5 jt). Adapun kebutuhannya dalam sebulan juga 2000 riyal. Maka apakah orang seperti ini diberikan zakat? Iya. Karena pada saat ini dia termasuk orang yang butuh karena terlilit utang. Dia diberikan zakat bukan maksud memenuhi kebutuhan bulanannya karena dari gajinya sudah mencukupi. Ia diberikan zakat untuk melunasi utangnya karena dari sisi ini ia dianggap fakir.”[3]

Golongan ketujuh: di jalan Allah.

Yang termasuk di sini adalah:

Pertama: Berperang di jalan Allah.

Menurut mayoritas ulama, tidak disyaratkan miskin. Orang kaya pun bisa diberi zakat dalam hal ini. Karena orang yang berperang di jalan Allah tidak berjuang untuk kemaslahatan dirinya saja, namun juga untuk kemaslahatan seluruh kaum muslimin. Sehingga tidak perlu disyaratkan fakir atau miskin.

Kedua: Untuk kemaslahatan perang.

Seperti untuk pembangunan benteng pertahanan, penyediaan kendaraan perang, penyediaan persenjataan, pemberian upah pada mata-mata baik muslim atau kafir yang bertugas untuk memata-matai musuh.[4]

Apakah zakat boleh disalurkan untuk orang yang berniat haji?

Ada beberapa pendapat dalam masalah ini. Sebagian ulama menyatakan boleh disalurkan untuk haji dan umroh karena termasuk “fii sabilillah. Demikian pendapat ulama Hambali. Sebagian lain mengatakan bahwa boleh disalurkan pula untuk haji dan umroh yang  sunnah. Sedangkan mayoritas ulama madzhab menyatakan tidak boleh karena tidak ada kewajiban haji bagi orang fakir.[5]

Golongan kedelapan: ibnu sabil, yaitu orang yang kehabisan bekal di perjalanan.

Yang dimaksud di sini adalah orang asing yang tidak dapat kembali ke negerinya. Ia diberi zakat agar ia dapat melanjutkan perjalanan ke negerinya. Namun ibnu sabil tidaklah diberi zakat kecuali bila memenuhi syarat: (1) muslim dan bukan termasuk ahlul bait (keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), (2) tidak memiliki harta pada saat itu sebagai biaya untuk kembali ke negerinya walaupun di negerinya dia adalah orang yang berkecukupan, (3) safar yang dilakukan bukanlah safar maksiat.[6]

Memberi Zakat untuk Kepentingan Sosial dan kepada Pak Kyai atau Guru Ngaji

Para fuqoha berpendapat tidak bolehnya menyerahkan zakat untuk kepentingan sosial seperti pembangunan jalan dan masjid. Alasannya karena sarana-sarana tadi bukan jadi milik individual dan dalam surat At Taubah ayat 60 hanya dibatasi diberikan kepada delapan golongan tidak pada yang lainnya.[7]

Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin berkata, “Tidak boleh menyalurkan zakat untuk pembangunan masjid, pembangunan sekolah (madrosah) dan tidak boleh pulan untuk perbaikan jalan, serta selain itu. Karena penyaluran zakat hanya khusus untuk delapan golongan sebagaimana yang diterangkan dalam ayat dan ayat tersebut ditutup,

فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

“Sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (QS. At Taubah: 60).[8]

Begitu pula tidak boleh menyerahkan zakat kepada pak Kyai atau guru ngaji kecuali jika mereka termasuk dalam delapan golongan penerima zakat yang disebutkan dalam surat At Taubah ayat 60.

Menyerahkan Zakat kepada Orang Muslim yang Bermaksiat dan Ahlu Bid’ah

Orang yang menyandarkan diri pada Islam, ada beberapa golongan:

Muslim yang taat dan menjalankan syariat Islam. Maka tidak meragukan lagi bahwa golongan ini yang pantas diberikan zakat. Jadi seharusnya zakat diserahkan pada orang yang benar-benar memperhatikan shalat dan ibadah wajib lainnya.

Termasuk ahlu bid’ah dan bid’ahnya adalah bid’ah yang sifatnya kafir. Orang seperti ini tidak boleh diberikan zakat pada dirinya. Misalnya adalah bid’ah mengakui ada nabi ke-26.

Ahli bid’ah (yang sifatnya tidak kafir) dan ahli maksiat. Jika diketahui dengan sangkaan kuat bahwa ia akan menggunakan zakat tersebut untuk maksiat, maka tidak boleh memberikan zakat pada orang semacam itu.[9]

Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Sudah seharusnya setiap orang memperhatikan orang-orang yang berhak mendapakan zakat dari kalangan fakir, miskin, orang yang terlilit utang dan golongan lainnya. Seharusnya yang dipilih untuk mendapatkan zakat adalah orang yang berpegang teguh dengan syari’at. Jika nampak pada seseorang kebid’ahan atau kefasikan, ia pantas untuk diboikot dan mendapatkan hukuman lainnya. Ia sudah pantas dimintai taubat. Bagaimana mungkin ia ditolong dalam berbuat maksiat?”[10]

Alhamdulillahilladzi bi ni'matihi tatimmush sholihaat.

@ KSU, Riyadh, KSA, 14 Rajab 1433 H


[1] HR. An Nasai no. 2579 dan Ahmad 5: 60. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[2] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 23: 321-322.
[3] Syarhul Mumti’, 6: 234.
[4] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 23: 322-323.
[5] Lihat Syarhul Mumti’, 6: 243.
[6] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 23: 323-324.
[7] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 23: 328-329.
[8] Syarhul Mumti’, 6: 220.
[9] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2: 76-77.
[10] Majmu’ Al Fatawa, 25: 87.
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Rohis Facebook