Home » » Menolong Ahmad Dhani

Menolong Ahmad Dhani


Soal cara beragama, tokoh idola, afiliasi, hingga selera soal perempuan, biarlah saya seperti minyak bagi air bernama Ahmad Dhani. Tiada pertemuan dalam perbedaan yang kasad. Seperti beberapa rekan islamis yang menempatkan musisi berbakat itu sebagai antek ini dan itu, semendalam pula ketidaksukaan saya padanya. Tingkah polahnya saat berbicara meyakinan untuk pendapatnya yang seringkali menjengkelkan. Jengkel bukan pada ihwal tampilan fisik apalagi haknya berbicara, melainkan lantaran kepongahan mempertunjukkan pilihan ideologisnya yang acap menantang kesadaran beragama kita.

Meskipun tidak menyukai atraksi dan tingkahnya, saya senantiasa berharap dia masih seperti kali pertama mengenalnya di album pertama grup musiknya. Melejit dengan Kangen, dia masih tampak anak Surabaya culun yang mengais rupiah ke Ibu Kota. Khas tipikal musisi sebelum meraih popularitas dan harta benda. Sayangnya, itu semua cerita lama.

Entah mengapa dia menikmati sebagai sosok pembeda dan pemberontak. Seolah-olah itu inovasi penanda kemajuan. Awalnya saya maklumi itu penguji kedewasaan dia. Maklumlah, usia peralihan kadang melahirkan sikap yang gema rmenyulut kontroversi. Darah Yahudi yang mengalir dari sang ibu, bolehlah disebut sebagai energi tersendiri untuk gen kreativitasnya. Rupanya saya salah, makin hari makin menjadi penonjolan apa kemauannya untuk bereksistensi diri.

Saya tidak terlalu tertarik mengikuti sulutan ucapan dan perilakunya yang memang mudah menarik cercaan bagi yang antipati. Saya memilih untuk mendiamkannya karena saya tahu dia gemar mencari-cari perhatian. Sampai akhirnya tersiar kabar bahwa buah hatinya berulah yang mengakibatkan enam orang meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan lalu lintas.

Bersimpati kepada korban meninggal dan luka-luka dalam kejadian itu tentulah mulia dan mudah dilakukan. Namun mendukung korban dan menjadikannya amunisi untuk menghantam Dhani, ini ujian bagi yang selama ini tidak menyukainya. Kalaulah dalam kejadian di Tol Jagorawi tidak ada sangkut pautnya dengan nama si musisi, bisakah kepedulian kita benar-benar hadir di peristiwa tersebut? Atau malah kita peduli karena ada sarana melepaskan kebencian pada figur yang menurut kita bersalah dan sesat?

Menuding Dhani sebagai pihak lalai lantaran memberikan hadiah mobil dan mendiamkan anaknya menyetir mobil sendiri sebenarnya peluang emas untuk menyudutkannya. Soal memanjakan anak biarlah itu urusan dia, walau kita tidak sependapat dengan cara dan bentuknya. Kejadian yang tengah mendera buah hatinya semoga saja membukakan isi kepalanya yang terkadang paling benar sendiri. Pada sisi inilah kesabaran kita diuji. Bukan sebagai pihak yang kerap dilecehkan Dhani, melainkan bagaimana kita memberlakukan dia. Haruskah dendam di hati ini membolehkan alasan kesombongannya untuk menempatkannya sebagai bulan-bulanan di media kelompok kita? Menuliskan banyak artikel soal kecelakaan anak Dhani si pendukung ini dan itu lantas ujung-ujungnya menyerang pribadi si ayah dan abai bahwa nuansa semua tulisan itu ada aroma dendam? Bila ini kita lakukan, rasanya kita menyejajarkan diri dengan kepongahan Dhani belaka juga. Harusnya, kita bisa melebihi dia dalam urusan ini.

Dalam kebencian berhijabkan kecintaan kita pada risalah kebenaran, riak-riak untuk mendengki dan melampiaskan amarah pada Dhani mudah hadir. Bahkan tanpa sadar seolah itu kesempatan emas untuk segera mengekspresikannya. Tanpa sadar, bila ini dikerjakan, kita samakan diri kita dengan kualitas akhlak Dhani.

Salah-menyalahkan posisi Dhani dalam kasus kecelakaan itu sejatinya sudah jelas. Tidak perlu berdebat kusir mengenai posisi orangtua si anak yang tersangka sebagai pelaku kejadian. Yang perlu untuk menjadi renungan adalah cara kita menyimpan amarah pada Dhani selama ini. Kita tidak menyukainya karena dasar kecintaan kita pada agama, yang Dhani pun mengakuinya juga karena alasan serupa berdasarkan opini segelintir alim idolanya.

Untuk itulah, menempatkan Dhani tidak semata sebagai ‘pelaku’, melainkan juga korban menjadi penting. Ya, dia korban dari mimpi-mimpinya selama ini tentang kemajuan anak dan cara-cara pengasuhannya. Dia korban dari ambisinya sendiri selama ini. Sungguh kasihan dia terjerembab pada jalan yang sebenarnya dia tahu mana kudu dilalui.

Tanpa disadari, kita diberikan pelajaran berarti dari kelalaian Dhani. Mendidik anak itu tidak cukup dengan gelimang harta benda dan kebebasan tanpa batas. Membesarkan anak itu perlu kehadiran orang yang disayangi anak, dalam hal ini ibu. Penting kiranya mengingat doa yang disertakan dalam pemberian nama diri anak. Nama sebagus dan seperti para alim besar sepanjang zaman pun, punya tanggung jawab. Aduhai si pemberi nama, di manakah hatimu ketika nama si anak mengambil dari ulama besar tapi perilakunya tidak kaubina sepertinya?

Biarkan Dhani menyelesaikan urusan anaknya hingga tuntas, tentu dengan tidak lupa mendoakan agar dia terbuka hatinya dengan nasib keluarga korban yang ditinggalkan. Berhentilah untuk sinis, ambil pelajarannya saja: kesombongan ada saatnya diperingatkan. Loyalitasnya yang mengembik pada sosok idolanya, mendiang tokoh pluralisme pembela berdirinya zionis Israel, semoga saja berganti pada kecintaan pada rakyat jelata yang membutuhkan uluran tangan kemanusiaannya. Sementara bagi kita, semoga saja kebencian berdalil pada Dhani, tidak perlu membawa-bawa persoalan musibah dan/atau teguran yang melibatkan keluarganya. Toh Nabi kita pun tidak pernah tertawa puas manakala Abu Jahal sakit. Itulah cara kita menolong Dhani.

Tentang Ahmad Dhani:


Sumber:
http://www.islampos.com/
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Rohis Facebook